Hujan (24)

Kami sampai di bandara. Tidak ada koper yang harus masuk bagasi. Secara kebetulan kami hanya merasa perlu membawa pakaian secukupnya hingga separuh tas punggung kami terisi. Sisanya, kami akan belanja di sana. Andari tahu pusat perbelanjaan harga miring, lalu buat apa bawa baju banyak-banyak? Andari duduk di sebelahku, celana jinsnya selutut, belel, ketat, memperlihatkan bentukan bokong dan paha yang membuat para pria tergoda untuk melirik. Tank top hitam menjadi pasangannya dengan kacamata hitam yang terselip dekat dada, lalu cardigan pastel yang diikatkan ke pinggang. Sepatunya berwana dominan abu-abu seharga nyaris sejuta rupiah keluaran produsen sepatu terkenal yang mengontrak petenis muda Caroline Wozniacki sebesar 142 miliar. Untuk ukuran backpacker, dia terbilang berkelas. Dia melepaskan predikat wanita kariernya sejenak, menjadi pencinta perjalanan. Kurasa, aku lebih suka dia dengan tampilan sekarang.

Kami memasuki executive lounge sembari menunggu penerbangan. Ruangan luas yang dipenuhi kurs-kursi sofa, lalu beberapa perangkat komputer dengan koneksi internet meski aku memilih mengakses internet menggunakan wi-fi. Dan, makanan all you can eat. Tas kami letakkan di sebuah sofa dekat dengan meja prasmanan yang memanjang.

"Kamu mau makan apa, Hujan? Ada nasi goreng, roti, lauknya ada udang asam manis, ikan nila goreng, ayam gulai, atau sup ayam? Biar aku aku yang ngambilin, kamu tinggal bilang mau yang mana. Minumnya ada susu, teh, kopi, atau mau soft drink?" Dia menahanku yang hendak beranjak mengambil makanan. Dengan patuh, aku kembali duduk dan menyebutkan menu yang kuinginkan.

Dia mengambilkan semua pesananku lalu mengambil makanannya sendiri. Roti gandum yang dibakar lalu akan diolesi dengan selai stroberi. Dibawakannya juga dua gelas jus jeruk meski aku tidak memintanya.

"Semalam aku nggak tidur," buka Andari sambil mengolesi selai stroberi ke permukaan roti. Seorang pria muda melintas dan melemparkan senyuman kepadanya. Andari membalas lalu kembali berbicara padaku. "Lebih tepatnya kalau sampai ketiduran. Oh ya, jadi ada urusan apa nih ketemuan sama adiknya mantan pacar? Mawar nggak tahu kalau kamu janjian sama Paul?"

Aku menggeleng. Kukatakan, aku berusaha menjauhi Mawar karena sudah ada June. Dia memandangku heran, entah salah apa pada jawabanku. Dia menikmati rotinya lalu menyelingi dengan bicara.

"Dengan chemistry yang sudah begitu kuat, apa kamu bisa menjaga jarak dengan Mawar? Oke, kalian sudah putus, tapi mengapa tidak mencoba berteman? Apa si June itu tidak bisa paham kalau di antara pacar dia dengan mantan pacarnya memang sudah berakhir?"

Aku menyesap kopi sejenak, lalu menatapnya. "Jika berada di posisiku, apa yang akan kamu lakukan? Sama dengan yang kulakukan, atau mempertanyakan sikap June?"

Andari berpikir sebentar lalu memberikan jawaban, "Kalau Mawar tetap ingin bertemu denganku, tidak membenciku, tidak ada alasan untuk menjauhinya kan? Dan aku bertaruh, kamu masih menyayangi dia, meski tidak sama dengan dahulu."

Aku manggut-manggut, memperhatikan dia yang asyik dengan makanannya.

"DJ Rama apa kabar?" tanyaku, membuatnya terbatuk nyaris tersedak. Kusorongkan gelas jusku padanya lalu mengusap-usap punggungnya.

"Kamu balas dendam ya? Aku tidak pernah percaya seratus persen dengan komitmen. Aku menjalani sebuah hubungan yang sifatnya tidak seperti kamu dengan Mawar. Dia DJ yang tidak mungkin selalu kuawasi apakah dia tidur dengan perempuan lain atau tidak, dan aku pun tidak menutup hati untuk orang lain. Semua orang bisa berubah, Hujan. Yang tadinya cinta, lalu bosan, dan pergi. Aku salut, kamu bisa dua puluh tahun mencintai orang yang sama. Kalian itu langka."

"Aku pernah selingkuh."

Andari mengibaskan tangan. "Tidak ada yang salah dengan berselingkuh, terlebih kamu lebih dulu menjadi korban selingkuh. Paham?" Dia menepuk punggungku dengan santai. 

Penerbangan kami tepat waktu. Kami naik ke pesawat melalui gerbarata bersama ratusan penumpang lainnya. Sepanjang 1,5 jam perjalanan, Andari membayar tidurnya semalam. Dia memundurkan kursi begitu pesawat berada di udara setelah sedikit bercakap-cakap ringan denganku. Pemandangan di luar sana tidak menarik perhatiannya. Dipasangnya headset lalu memutar musik klasik sementara aku memilih nonton sebuah acara dokumenter. Aku melirik, tidurnya sudah tampak lelap, hingga tak bereaksi ketika punggung tangannya kugenggam. Seorang pramugara yang melintas, melihat adegan itu dan melemparkan senyuman kepadaku. Terlalu mesrakah adegan ini? Aku tidak tidur, karena rasa kantuk tak juga menyerang. Sesekali Andari bergerak, dan tanganku masih menggenggam tangannya. Dia kemudian terjaga ketika kami tidak lama lagi akan mendarat, sandaran kursinya sesuai aturan, harus ditegakkan. Andari menguap dan melihat ke jendela.

"Udah puas tidurnya?"

"Udah, pokoknya habis ini, kita jalan-jalan dulu baru ke hotel."

Sambil berjalan-jalan, Andari sesekali bercerita tentang perjalanannya. Ada bisnis yang harus diselesaikannya di Melbourne, terlalu sibuk hingga tak sempat menghubungiku atau membalas pesan-pesanku. Aku maklum. Ketika sibuk pun, aku punya alasan mengabaikannya. Dan kami memang tidak punya kesepakatan untuk harus selalu berkomunikasi.

"Setiap perjalanan bisnis ke luar negeri, bosku selalu menyediakan, em, bonus, dalam wujud manusia."

Aku mengerutkan dahi, maksudnya apa? Dia menggandengku lalu mengajak masuk ke sebuah toko baju. Seorang pelayan menyambut kami dan mempersilakan kami untuk melihat-lihat dulu.

"Seseorang yang bisa diajak tidur," bisiknya. Ia mengambil sebuah dress yang digantung berwarna merah menyala, transparan. "Bosku tahu seleraku selalu yang Asia, aku kurang begitu suka dengan ras yang lain. Dan mubazir kalau disia-siakan. Ya kan, Hujan? Dia masih sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun, sangat hebat di ranjang."

"Kenapa kamu ceritakan ini padaku? Itu sangat personal dan...."

"Aku ingin kamu tahu kehidupanku seperti apa, aku bukan orang baik-baik, Hujan."

Aku menghela napas, lalu menggenggam tangannya, menatapnya lekat-lekat. Kejujuran hal yang termahal, Andari memberikan itu padaku, yang bukan siapa-siapanya. Dengan risiko aku akan memandangnya berbeda di kemudian hari. Tapi buat apa? Mawar yang kupercaya bertahun-tahun tidak mampu untuk satu hal besar dalam hubungan kami.

"Tadi aku tidak tidur di pesawat." Andari meletakkan dress ke tempat semua lalu kembali menggandeng tanganku meninggalkan toko itu. "Aku hanya ingin menikmati perlakuanmu yang begitu manis. Jika aku tidur, aku akan kehilangan momen itu, dan belum tentu kamu masih mau menggenggam tanganku setelah tahu aku seperti apa."

Pandangan kami bertemu, dia masih menggandeng tanganku seakan takut aku akan pergi begitu saja. Kuusap rambutnya lalu ke pipinya. Dia menahan napas sejenak, takut jika aku memuntahkan kalimat yang belum siap diterimanya. Kami belum saling mengenal lebih jauh, aku hanya bercerita tentang Mawar dan sedikit hal, sementara dia sudah begitu banyak, seakan mempercayaiku tidak akan membocorkan rahasianya pada orang lain. Sementara aku, seakan memberi harga begitu mahal untuk sebuah rahasia. Lebih karena aku takut, aku menyimpan rasa takut yang sebenarnya akan membunuhku pelan-pelan.

"Aku senang kamu ada di sini, Andari, dan kita punya banyak waktu untuk bisa bersama, kalau kamu mau. Hanya jika kamu mau."


Yogyakarta, 24 Juli 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post