Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (2)

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (2)
Setelah beberapa bus malas berhenti-meski sudah dengan bantuan pak polisi- akhirnya sebuah bis ekonomi pun melambat dan saya naik dari pintu belakang. Sudah banyak penumpang berdiri bahkan ada yang duduk di pintu. Dengan ransel berat, saya pun mencari posisi. Kenek bus menawarkan supaya tas diletakkan di belakang barisan penumpang, akhirnya saya biarkan meski waswas karena kamera berada di atas, sangat mudah kalau mau diambil orang, gemboknya pun tidak sempat saya pasang karena tadi bus keburu datang. Di dekat kaki saya ada bebek belanjaan orang yang paruhnya menggelitik kaki saya, rasanya gimana gitu. Saya pun ditagih tiket, 15.000, kaget juga dengan tagihan segitu, bis nggak AC, berdiri, bayarnya lebih mahal dari yang tadi berangkat. Saya tahu, itu alasan yang dibuat-buat aja, apalagi dia tidak memberikan tiket bukti pembayaran. Ah malakin pendatang emang gampang banget, nggak mikir uangnya halal apa nggak kalau dimakan. Ini belum orang asing yang pasti kalau ditagih pasti harganya lebih tinggi, seperti Pak Nurhadi yang mematok ongkos 250.000 untuk keliling situs trowulan, 100.000 lebih mahal dari turis domestik. Padahal, kalau kita jalan-jalan ke luar negeri, nggak ada namanya perbedaan tarif, dan tarifnya sudah fix segitu. Sejak awal sudah tahu harus bayar berapa. Ya, inilah potret transportasi negara kita, masih lama sepertinya kalau mau sampai ke tahap tertib. Tolong dong Pak Jokowi, menterinya besok kudu memperhatikan nasib para backapacker, saya udah milih Bapak lho kemarin.

Sejam kemudian, bis memasuki Bungurasih. Waktunya rehat dan rencana ke House of Sampoerna saya batalkan dengan pertimbangan fisik yang butuh diistirahatkan sejenak. Setelah perut kenyang, saya memilih sebuah booth air mineral yang kebetulan tidak dihuni, bergabung dengan beberapa penumpang lain, tidur siang. Tempat itu berupa panggung berlaskan karpet yang tidak cling bersih, tapi saya sudah tidak peduli, tidur di kursi besi tentu beda rasanya. Sekitar 3 jam saya tidur dan terbangun karena perut lapar. Penghuni booth masih yang itu-itu juga, entah mereka hendak ke mana jam berapa. Saya melahap biskuit perbekalan sambil memperhatikan orang-orang lalu-lalang di ruang tunggu yang lantainya belum semuanya terlapisi keramik. Sebagian besar mereka yang di ruang tunggu adalah rombongan keluarga dan juga pasangan. Yang sendirian itu sangat jarang. Bosan duduk, saya pun jalan-jalan melihat bagian terminal yang lain, penjual makanan dan oleh-oleh berderet, barang-barang yang terdapat di kantor penitipan barang masih juga banyak, papan informasi keberangkatan bis yang masih juga tidak selengkap tadi pagi. Papan pengumuman digital memang tidak bisa dijadikan penunjuk satu-satunya, seperti di bandara. Bus-bus tujuan luar pulau tidak tercantum di sana. Demikian juga tarif bus AKAP dan AKDP, di lapangan tidak diterapkan. Saya malah lebih baik bertanya pada petugas dishub karena jawabannya lebih valid.

Menjelang pukul 21.00, saya mulai mencari bus jurusan Surabaya-Banyuwangi. Perjalanan jika lancar adalah 7 jam, paling tidak, sampai di sana sudah pagi. Bus jurusan ini memang agak susah, sebagian besar harus oper di Jember, padahal, konon ada ceritanya kalau di Tawang Alun sering kejadian orang kena gendam, dan saya nggak tahu cara menangkal hal itu. Salah satu bis yang direkomendasikan adalah Ladju, tapi sepertinya keberangkatan bis ini juga agak kacau karena lebaran sehingga bis-bis tujuan Jember yang menaikkan penumpang. Ada Damri langsung Banyuwangi, tapi saya nggak yakin aja naik bis ini.

Dua jam kemudian, saya sudah berada di bus jurusan Surabaya-Jember, sambil berharap, jalanan akan macet parah sehingga tiba di Jember sudah terang. Di perjalanan ini, tarifnya 60.000, bis AC, tapi jarak kursi depan dengan belakang cukup dekat, lagi-lagi ransel harus saya pangku selama 4 jam, dan itu artinya, saya tiba di Tawang Alun sekitar pukul 03.30, oh my God. Bayang-bayang gendam mulai meracuni otak, karena bus tidak masuk terminal. Kami hanya diturunkan di seberang Tawang Alun dengan ojek dan supir angkot mulai menawarkan kendaraan. Saya lalu bertanya pada seorang penumpang dan dia mengatakan, untuk langsung ke Banyuwangi, bisa mencegat patas sekitar 20 meter dari tempat kami berdiri, tapi itu daerah rawan. Dia mengusulkan supaya saya mencari bis lanjutan di dalam terminal, ada pintu kecil rupanya sehingga saya tidak harus memutar. Saya masuk peron dengan tarif sama ketika memasuki terminal lainnya, 500. Ruang tunggu Tawan Alun tidak begitu besar, dengan kursi tunggu yang kosong. Ada yang tiduran di sana tapi sepertinya buka pemudik, karena tidak ada tas besar. Saya kemudian memilih salah satu kursi dan tidur. Ah leganya bisa berbaring, meski kursinya keras dan dingin. Suara orang-orang dan bis mengantar saya ke alam mimpi dengan mudah.

Begitu pagi, saya mencari sarapan di dalam terminal dan menyiapkan diri untuk perjalanan lanjutan ke Banyuwangi. Sebuah bis ekonomi pun saya tumpangi, tarifnya 30.000. Perjalanan rupanya cukup jauh juga, nyaris 4 jam hingga sampai ke Terminal Karangante (Brawijaya), terminal kota Banyuwangi. Saya buka kembali beberapa destinasi wisata di Banyuwangi, dan saya pilih Watu Dodol dengan pertimbangan, dari pantai ini mudah untuk memilih bus pulang ke Surabaya. Awalnya saya naik angkot lin 1, katanya akan melewati pantai itu. Meski menunggu cukup lama, akhirnya angkot pun jalan juga, penuh penumpang yang pulang mudik dan juga akan ke Ketapang. Angkot ini kemudian mengoper saya dan penumpang lain ke angkot lain dan saya harus membayar 20.000, cukup mahal untuk angkot, menurut saya, dan angkot kedua menurunkan saya di Terminal Karangasem, dan katanya saya harus nyambung angkot lain lagi yang sudah siap sedia dengan tarif 30.000. Apa nggak salah nih? Pantainya di mana sih sampai harus bayar segitu mahal? Akhirnya saya memilih ojek, 15.000 dapat, dengan si tukang ojek berat hati. Padahal, jarang dari terminal ke pantai tidak begitu jauh. Awalnya dia menurunkan saya di depan sebuah hotel, ya namanya Watu Dodol, tapi saya rasa pak ojek ini hanya pura-pura tidak tahu kalau yang saya maksudkan adalah pantai, PANTAI, Pak, PANTAI! Udah cukup ngajak berantem nggak sih orang-orang ini? Serius deh, mereka perlu lebih profesional dalam memperlakukan turis.

Pantai Watu Dodol letaknya di pinggir jalan besar, boleh dikatakan sebagai tempat persinggahan, ditandai dengan adanya batu besar yang membelah jalan dan juga patung penari gandrung yang terletak di atas sebuah tempat yang difungsikan untuk melihat lautan lepas dan Pulau Bali dari kejauhan. Pantai ini secara kebersihannya kurang terjaga, banyak sampah baik di pantai maupun sampai ke lautan. Orang-orang lebih sibuk menikmati suasana ketimbang memperhatikan lingkungan sekitar.

Terdapat sejumlah warung yang sebagian besar menawarkan menu ikan. Saya kemudian memilih salah satunya, tapi mereka tidak menjual udang, hanya jenis nila dan gurameh. Di warung ini, juga ada rombongan mahasiswa dari Malang dan sama-sama menunggu pesanan datang. Soal rasa, tidak perlu ditanya, hampir bisa dikatakan hambar dan kuahnya hangat-hangat menjelang dingin. Saya memesan jagung bakar, murah, cuma 3.000, dan hanya dibakar sekitar 2-3 menit dan voila! Jagung yang masih setengah mentah, rasa manisnya tidak terasa.

Setelah makan, saya jalan-jalan ke sekitar pantai barulah menunggu bis Akas menuju Surabaya, tanpa harus ke terminal terdekat. Setengah jam menunggu, datanglah bis ekonomi Akas jurusan Surabaya, yang tidak lama kemudian, setelah ditagih tiket, barulah tahu, bis ini hanya sampai Probolinggo. Tidak terhitung betapa banyak penumpang yang dikelabui oleh bus ini. Memangnya kenapa memasang tulisan Probolinggo-Surabaya? Seperti halnya Surabaya-Jember-Banyuwangi? Dan mengapa tidak mengatakan dari awal? Saya kasihan melihat penumpang yang harus turun di Terminal Banyuangga jam 21.00, dengan wajah lelah, menenteng begitu banyak barang bawaan dan anggota keluarga, serta mengeluh. Terminal ini tidak begitu besar, dan sebagian besar hanya didatangi bis-bis dari dan ke Surabaya, Jember, Malang, dan Madura. Untuk jurusan Malang dan Madura, ada pilihan patas atau ekonomi. Saya memilih makan baru melanjutkan perjalanan. Niat mau shalat tertunda karena mushala ditutup, letaknya pun jauh di seberang ruang tunggu. Menu makanan yang tersedia, tidak jauh-jauh dari rawon, soto, bakso, nasi pecel, dan penyetan. Saya memilih tahu penyet, toh saya tidak begitu lapar, dan teh panas.

Pukul 22.00, saya menunggu patas ke Surabaya, tapi selalu penuh. Akhirnya saya naik bis ekonomi AC dengan tarif 20.000, dan sampai sekitar 2 jam kemudian. Kota ini sepertinya baru saja diguyur hujan dan menyisakan jalanan yang basah. Jalanan menuju Surabaya cukup mulus, tidak seperti Jember-Banyuwangi yang bergelombang dan memancing penumpang untuk mabuk darat. Saya pun memilih tidur ketimbang memperhatikan jalanan atau para penumpang lain.

Selanjutnya disambung lagi nanti yaa!













Post a Comment

Previous Post Next Post