Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Target traveling saya kali ini adalah melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan pada perjalanan-perjalanan sebelumnya. Waktu libur yang saya miliki cukup panjang tapi tidak mungkin akan saya habiskan traveling penuh karena semua biaya bisa dikatakan naik dua kali lipat, sementara mengendarai motor juga akan dua kali lipat lebih lelah dengan kondisi jalanan yang macet di mana-mana. Maka 4-5 hari sudah cukup.

Sebelum menentukan tanggal, saya mengumpulkan sejumlah destinasi, yang jauh dan belum pernah saya kunjungi. Seorang kawan memberikan sejumlah alternatif, seperti Trowulan dan Pulau Bawean. Sambil browsing, saya pun tertarik ke Banyuwangi. Tidak mungkin semuanya akan saya kunjungi. Letak ketiga titik itu sama-sama berjauhan.

Ketertarikan saya cenderung pada Pulau Bawean, letaknya di utara Gresik, masih masuk wilayah tersebut. Mulailah saya terus melakukan penggalian data-data termasuk tarif dan kendala ke sana. Untuk mencapai pulau tersebut, sama halnya dengan Karimunjawa, harus menyeberang dengan kapal ekspres jika ingin memangkas lama penyeberangan yang 6 jam dengan kapal besar. Tarif terbaru tiket sudah saya dapatkan, referensi hotel sudah ada beberapa, titik destinasi wisata juga sudah, dan saya ragu ketika menemukan berita terbaru bahwa penyeberangan harus ditunda jika ombak tinggi. Saya kemudian teringat ketika akan ke Karimunjawa dan 2 kali tertunda karena alasan sama. Jangan harap pihak kapal akan mengembalikan uang tiket, yang untuk kelas ekonomi sekitar 131.500. Jika tetap naik kapal besar, Gili Iyang, pemberangkatan hanya 2 kali seminggu, Rabu dan Jum’at, jam 21.00 WIB, itu kalau saya dapat tiket. Kalau tidak, sia-sia perjalanan saya ke Lamongan.

Lalu saya berpikir, ke Banyuwangi banyak sekali tempat keren favorit saya, apalagi kalau bukan pantai eksotis yang masih belum terjangkau orang banyak. Dengan saksama dan antusiame tinggi, saya catat beberapa spot itu dan mencari tahu lebih banyak. Satu yang paling menonjol adalah G Land atau Pantai Plengkung, sebuah pantai dengan ombak yang mencapai 8 meter, cocok buat yang ingin surfing, konon katanya, pantai-pantai di Bali sama Lombok masih kalah sama yang satu ini. Pencarian saya kemudian terhenti pada saat mengetahui letak pantai ini yang cukup rumit untuk dicapai, seperti halnya mencapai Kawah Ijen. Beberapa pantai lain pun susah diakses, jalanannya pun belum standar. Kalau misalnya sebatas off road semacam Pantai Timang, saya tidak akan ragu ke sana, tapi pantai-pantai indah ini terletak di dalam kawasan taman nasional, banyak persyaratan yang harus dipenuhi, termasuk izin ini itu, sewa ini itu, cost-nya sangat tinggi dan risikonya sangat besar.

Tapi keinginan saya untuk bisa menginjak Banyuwangi, tidak hilang, sebisa mungkin saya akan ke sana meski hanya sebentar. Banyuwangi itu terletak paling timur Pulau Jawa, yang terdekat ke Bali, bahkan dari Pantai Watu Dodol, saya bisa melihat pulau dewata itu dan kapal feri yang mengarah ke sana, lewat zoom kamera saya. Sempat terpikir juga sebenarnya untuk menyeberang ke Bali, tapi hey, di musim liburan lebaran, siapa sih yang nggak pingin ke Bali atau Lombok? Saya sempat menelepon kantor Safari Dharma Raya, kisaran bis Jogja-Mataram mencapai 600.000 yang seharusnya hanya sekitar 375.000. Dari banyak artikel traveling, memang jarang ada yang melakukannya di musim orang pada mudik sehingga biaya yang dikeluarkan tidak begitu tinggi.

Banyuwangi oke, meski numpang lewat, maka itu artinya yang harus dimaksimalkan adalah Trowulan. Jujur saja, saya bukan pencinta peninggalan sejarah, tapi Trowulan ini berbeda, aromanya begitu Majapahit. Beberapa sumber menyebutkan, Trowulan merupakan kompleks candi dengan letak satu situs dengan lainnya berjauhan, pilihannya adalah menggunakan kendaraan pribadi atau ojek. Jalan kaki hanya membuang energi. Setelah mencatat beberapa poin penting, maka selesailah sudah perencanaan traveling kali ini.

Hampir setahun saya tidak backpack ria, sehingga untuk memulainya pun saya kurang mantap, tidak seperti biasa. Bahkan ragu apakah melakukan perjalanan ini atau membatalkannya begitu saja. Yang menjadi pertimbangan saja untuk tetap meneruskannya adalah, saya akan sangat sulit melakukan perjalanan jika sudah masuk kantor. Sampai akhirnya H-1, barulah saya merasa siap berangkat, barang saya masukkan ke dalam ransel, tidak penuh tapi berat juga kalau dibawa ke mana-mana, saya bawa dua kamera karena untuk Trowulan, saya ingin mendapatkan gambar berkualitas bagus. Pakaian ganti hanya untuk satu kali ganti, dan saya sama sekali tidak mandi semenjak Kamis sampai Sabtu, karena malas dan selama 3 malam berturut-turut tidur di dalam bis yang berbeda-beda, kadang AC kadang tidak. Dan terminal bis mana yang menyediakan air hangat untuk mandi?

Saya memulai perjalanan pada Rabu malam, 30 Juli 2014. Saya makan malam dulu baru berangkat ke Giwangan. Motor saya titipkan untuk 4 hari, 12.000, bayar di muka. Dari tukang parkir sampai petugas loket peron mengatakan hal yang sama, bis Surabaya-Jogja, tidak ada, supirnya hanya sampai di Solo dengan alasan kelelahan harus menempuh perjalanan hingga 16 jam. Akhirnya saya dan para penumpang lain memilih naik bis Jogja-Solo malam itu juga, dengan tiket 20.000, ketimbang menunggu jam 4 pagi besok.

Jalanan di malam hari mulai berkurang kepadatannya, hanya di beberapa ruas jalan tampak antrean panjang, seperti di Jalan Solo setelah flyover. Saya duduk di bangku agak belakang, hoodie jaket saya kenakan karena jendela dibuka lebar untuk mengurangi kesumpekan bis yang dipadati penumpang. Meski begitu, saya tetap bisa tidur di dalam bis, ya mau ngapaian lagi coba?

Pukul 11.30, bis memasuki Terminal Tirtonadi dan siap-siap menuju peron bis jurusan Solo-Surabaya. Bis sedarah-sekandung, Eka dan Mira muncul, tidak ketinggalan di jawara balapan, Sumber Kencono. Yang terakhir ini tidak mau saya pilih, kalau memang tidak kepepet. Pilihan saya jatuh pada Mira, yang saya tahu, tidak membelakukan sistem istirahan di jalan. Lumayan ngebut, tapi tidak sengebut Sumber Kencono, tarifnya pun 44.000 saja. Tidak menunggu lama, bis penuh dan berangkat. Lagi-lagi, perjalanan malam hari selalu menguntungkan karena kemacetan mulai berkurang, meskipun setelah Ngawi terjadi lagi kemacetan panjang dan saya tinggal tidur dengan ikhlash. Sesekali saya terbangun ketika bis mengerem lalu lanjut menyebut, entah mendahului kendaraan pribadi atau bis-bis malam lainnya.


http://www.lubisstone.com/2014/08/jogja-solo-surabaya-mojokerto-jember_35.html

Mira memasuki Purabaya (Bungurasih) sekitar pukul 06.30 WIB, terminal itu terlihat lengang. Saya turun cuci muka, sarapan (meski sarapan di terminal sangat mahal dan tidak masuk akal harganya), beristirahat sejenak di ruang tunggu sampai jam 08.00. Petugas menunjukkan bis yang bisa mengantarkan saya ke Trowulan, Restu jurusan Ponorogo AC. Perjalanan dari Surabaya ke perempatan Trowulan Mojokerto hanya ditempuh sekitar 1 jam, tidak macet, tarifnya 10.000, tapi agak mengherankan ketika pulangnya, saya naik bis non-AC dan berdiri di belakang sampai Bungurasih, saya harus membayar 15.000 tanpa dapat tiket, dengan alasan arus balik, dalam hati saya mesem, please deh! Bukan perkara uang 5.000, tapi alasan arus balik itu lho, masnya yang sok ganteng!

Untuk ke Trowulan, minta aja turun di perempatan. Nanti langsung nyari ojek. Salah satu tukang ojek, namanya Pak Nurhadi, menawarkan 150.000 dan saya tawar 90.000 untuk 4 situs plus Museum Majapahit. Berhubung bayar mahal, saya lama-lamain dong ketiap situs. Padahal, satu situs sebenarnya hanya ada 1 candi, sisanya hamparan rumput menghijau dan jejeran pepohonan di dekat tembok pembatas. Situs ini menurut saya keren, karena berhasil direkonstruksi menjadi bangunan utuh, memang masih ada yang dalam proses penyelesaian. Saya rasa, di zaman Majapahit pun untuk membuat bangunan tanpa bahan perekat juga butuh waktu lama.

http://www.lubisstone.com/2014/08/jogja-solo-surabaya-mojokerto-jember_35.html

http://www.lubisstone.com/2014/08/jogja-solo-surabaya-mojokerto-jember_35.html

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Pak Nurhadi mengantarkan saya pertama kali ke Candi Tikus, karena paling jauh, selain Brahu. Di sana, saya mengisi buku tamu dan menyerahkan uang sukarela (dan entah mengapa tidak menetapkan retribusi resmi saja kepada pengunjung sehingga uangnya tidak dicurigai digunakan untuk pribadi), lalu saya juga membeli buku panduan berjudul Mengenal Kepurbakalaan Mahapahit di Daerah Trowulan seharga 30.000. Buku ini sangat lengkap dan bisa saya baca-baca di kemudian hari. Sedikit banyak mengenai tempat ini, ditemukan pada tahun 1914 yang diawali terjangkitnya daerah tersebut dengan wabah tikus yang bersarang di sebuah gundukan, isi dari gundukan itu adalah candi yang kemudian dinamakan Candi Tikus. Kalau Anda pernah ke Candi Sambisari di Kalasan, tipenya hampir sama, menjorok ke bawah dan terdapat kolam di bawah sana. Pengunjung lumayan ada, lah, tapi yang cukup mengganggu adalah mereka seenaknya sendiri menginjak area yang dilarang. Sangat disayangkan memang, para petugas tidak banyak di lapangan sehingga apa pun yang pengunjung lakukan dibiarkan saja. Coba ke CandiBorobudur, duh petugasnya di mana-mana, ada yang manjat dikit udah ditegur. Ada juga yang pacaran di bawah pohon, sekeluarga piknik dengan santainya, sampah tidak dibuang di tempatnya. Dan mereka tidak sadar kalau saya foto sebagai barang bukti, lumayan ada hiburan.

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)


Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)
Salah satu papan peringatan ada di area situs

Puas di Candi Tikus, sebenarnya alasan saya adalah mulai merasa matahari semakin panas, kami beralih ke Gapura Bajangratu, di Desa Temon, tidak jauh dari Candi Tikus. Gapura ini bertipe paduraksa alias memiliki atap berbahan utama bata, kecuali lantai tangga dan ambang pintu yang terbuat dari batu andesit. Ditemukan pertama kali pada tahun 1915, dan masa pendiriannya tidak diketahui dengan pasti. Dipugar pada tahun1989 dan rampung pada tahun 1992. Lagi-lagi mata dimanjakan dengan hamparan rumput menghijau dan tanama-tanaman yang dipotong berbentuk bintang, binatang, helikopter. Di area ini lebih tertib pengunjungnya, tidak ada yang nekat naik meski satu undakan, atau kebetulan saya tidak melihatnya, karena larangan naik dipasang di undakan kedua dari bawah.

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Jogja-Solo-Surabaya-Mojokerto-Jember-Banyuwangi (1)

Destinasi selanjutnya adalah Museum Majapahit. Di sinilah semua keterangan mengenai setiap situs bisa saya dapatkan, tapi berhubung masih libur, Museum Trowulan yang berisi koleksi tanah liat/terakota, keramik, dan logam, tutup sampai Senin, 4 Agustus 2014. Saya hanya bisa melihat sejumlah informasi dan peninggalan yang terletak di bagian belakang. Bagi pencinta sejarah pasti akan sangat senang melihat batu prasasti, batu nisan, tempayan batu, lingga dan yoni, arca, sampai bagunan rumah rakyat Majapahit dahulu yang masih dalam proses rekonstruksi. Seorang pemandu kemudian datang dan berusaha menjelaskan, tapi saya tidak begitu tertarik mendengarkan, karena apa yang dia katakan, sama dengan apa yang saya baca pada poster yang terpasang. Saya lagi-lagi menyayangkan karena petugas lapangan tidak banyak dan memastikan tidak ada yang memegang benda-benda berharga itu sembarangan. Area Museum Majapahit ini terbilang besar, selain terdiri dari gedung-gedung tempat penyimpanan barang bersejarah, juga ada tiga bangunan seperti tenda dengan tiang-tiang besi penyangga yang katanya sebagai area untuk rekonstruksi bangunan. Belum terlihat bentuknya, namun bisa melihat dari bentukan maket yang tersedia.

Saya mengira tinggal satu tempat lagi, ternyata masih dua, Brahu dan Buddha Tidur. Dari Museum Trowulan ke Brahu, jaraknya cukup jauh dan menyeberang jalan. Tidak banyak petunjuk yang saya temukan selama perjalanan, dari satu candi ke candi lainnya. Peta persebaran yang terdalam di dalam buku panduan juga tidak begitu detail. Apakah jika menggunakan Google Map akan terbantu atau tidak, silakan dicoba sendiri. Pak Hadi adalah penduduk setempat, sehingga dengan mudah membawa saya dari satu situs ke situs lainnya.

Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan cara digosok, entahlah bagaimana maksudnya. Tingginya mencapai 6 meter, diduga sebagai kakak dari candi-candi lainnya menurut Prasasti Alasantan yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok pada 861 C atau 939 M. Di dalam candi, tapi dilarang masuk ke dalam, terdapat bilik berukuran 4x4 m dengan kondisi lantai telah rusak. Lagi-lagi, ada saja pengunjung yang nakal dan naik ke candi untuk foto bersama, sampah juga ada yang dibuang sembarangan. Untuk tempat parkir, pihak pengelola belum menyediakan tempat khusus, seperti pada Candi Prambanan atau Borobudur, melainkan sudah masuk ke bagian halaman. Pemandangan yang cukup mengganggu mata. Para penjual suvenir pun sudah sepantasnya diberi tempat tersendiri.

Maha Vihara Mojopahit







Patung Buddha Tidur atau Sleeping Buddha

Maha Vihara Mojopahit adalah situs terakhir yang saya junjungi, di sinilah Patung Buddha Tidur atau Sleeping Buddha berada. Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai keberadaan patung tersebut, sehingga sedikit mengutip dari metrotvnews.com:

Patung berwarna keemasan ini memiliki panjang 22 meter dengan lebar 6 meter dan tinggi 4,5 meter. Patung ini dibuat di tahun 1993, menggunakan bahan beton yang dipahat perajin patung asal Trowulan. Patung ini menggambarkan wafatnya sang Buddha, Siddharta Gautama dalam kondisi tertidur.

Seluruh bagian patung ini berwarna kuning keemasan, di bawah bagian patung terdapat relief-relief yang menggambarkan kehidupan Buddha Gautama, hukum karmaphala dan hukum tumimbal lahir. Tak jauh dari patung Buddha terdapat kolam air yang ditumbuhi tanaman teratai yang melambangkan kehidupan sang Buddha dan ajaran agama Buddha.

Situs ini bernuansa religi, tapi tidak melarang umat agama lain untuk masuk melihatnya. Untuk tarifnya pun resmi, orang dewasa 2.000, ada tiketnya. Bagian vihara juga dapat digunakan sebagai tempat beristirahat sejenak para pengunjung. Ada pula penjulan makanan, suvenir, dan tempat parkir di bagian luar, namun sayang tidak ditempatkan dengan rapi.

Dan berakhirlah tur saya ke Trowulan, menyenangkan sedikit banyak tahu seputar sejarah Majapahit, tidak hanya dari buku tapi juga peninggalan sejarahnya. Pak Hadi lalu mengantarkan saya ke tepi jalan besar untuk mencari bis kembali ke Surabaya.

Ceritanya sambung ke postingan berikutnya yaa!



































































































































































































Previous Post Next Post

نموذج الاتصال