Ikut Kata Nabi (Qultummedia, 2014)


Buku ringan ini mengambil ide dasar dari sejumlah hadits Nabi yang berkaitan dengan perkara sehari-hari umat Islam. Setiap halaman akan dimulai dengan komik strip dan diakhiri dengan hadits yang berkaitan dengan hal tersebut. Gambar serta storyline-nya dikemas dengan sangat menarik dan lucu sehingga hanya butuh kurang dari sejam untuk melahap habis isinya meskipun perlu membaca berulang-ulang untuk mengingat seluruh hadits yang tercantum di dalamnya. Berbeda halnya ketika membaca komik-komik biasa di mana yang namanya pesan moral bukan menjadi poin yang diutamakan.

Ikut Kata Nabi dihadirkan dalam 100 halaman dan sedikit selingan yang sifatnya di luar cerita dan berkaitan dengan sosok di penulis, S. Yuwanto. Siapakah gerangan dia? Silakan saja berkenalan langsung via beberapa media sosial yang ia punya.

Hadits-hadits Nabi yang dimasukkan ke dalam komik ini seperti pengantar di paragraf sebelumnya, masuk dalam ranah muamalah. Ehm, dan definisinya menurut KBBI offline 1.5.1 adalah:

Ikut Kata Nabimu·a·ma·lah Ar n hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb)

Saking banyaknya hadits yang menurut saya “keren” karena sangat menyinggung kaum hedon kena di hati pembaca yang memang perlu nenggak paracetamol satu botol diluruskan pikirannya.

Mari kita masuk ke area konten buku ini. Si penulis membuka karya dengan ucapan basmalah tanpa potong pita apalagi masak nasi kuning. Percayalah ucapan basmalah itu bukan sesuatu yang langka diucapkan manusia yang kenal Tuhan.

Cerita pertama diberi judul “Diam”. Merujuk pada hadits yang berbunyi:

“Apabila seseorang datang langsung berbicara sebelum memberi salam maka tak perlu dijawab.” (HR. Dainuri dan Tirmidzi) (hlm. 6).

Ini aturan seputar pergaulan yang sederhana, tapi percaya deh, untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit alias malas amat dan kebayang ribetnya. Apalagi ketika bertemu dengan teman dan yang diobrolin jauh dari sesuatu yang penting. Maka golongan orang-orang malas seperti saya akan dengan sengaja menghitung berapa kali ya harus mengucapkan salam kepada orang lain emang nggak ada perkecualian gitu?

Perkara perilaku sehari-hari yang juga dimasukkan penulis—ralat komikus—masih pada bagian awal adalah sesuatu yang saya, Anda, ente, antum, antuma, antuna, you, yey, jenengan, saudara, melakukannya dan itu tidak bisa dihindari. Sebuah hadits yang sangat familiar:

“Rasulullah Saw. melarang makan dan minum sambil berdiri.” (HR. Muslim). (hlm. 10).

Kapan terakhir kali Anda menghadiri undangan di mana kursi yang disediakan jauh lebih sedikit ketimbang tamu yang diundang? Saya tipe orang yang mempertanyakan apakah harga sewa kursi begitu mahal dari makanan hingga disediakan hanya sedikit? Apa yang salah jika orang bisa makan atau minum dengan nyaman dalam posisi duduk? Hadits Rasulullah ini di zamannya memang tidak dipertanyakan alasannya, tapi di zaman sekarang di mana segala sesuatunya harus dilandaskan dengan pendekatan ilmiah, maka salah satu jawabannya ada di artikel ini. Nah perkara orang yang sudah tahu tetap saja makan atau minum tetap berdiri bahkan merasa lebih keren kalau berdiri, itu sih urusan masing-masing.

Ada lagi nih hadits di hlm. 39 yang tidak kalah menarik:

Sayyidina Ali Ra. Mengatakan, “Rasulullah menyuruh kami bila berjumpa dengan ahli maksiat agar memperlihatkan wajah masam.” (HR. Ath-Thahawi).

Kepada siapa sih kita biasa memberikan wajah masam selain kepada mantan pacar atau tukang tagih utang? Nah mulailah tunjukkan wajah masam kepada hanya orang-orang yang gemar bermaksiat. Bermaksiat itu memang sangat luas pengertiannya jika dikaitkan dengan banyak aspek, misal orang yang gemar bergunjing, orang yang sering bohong, para pengkhianat agama *duh, tukang sebar paku di jalan, dan banyak lagi. Tidak dijelaskan secara detail memang mengenai kadar keasaman wajah yang dimaksud, tapi pastikan sasaran Anda sadar jika bau badan Anda asam muka Anda cukup masam sebagai respons dari perilaku yang tidak baik di hadapan Anda dan Anda selalu gagal ujian masuk FPI karena kurang memenuhi standar.

Satu lagi deh, ini saya, Anda, antum dan berbagai derivasinya itu, sengaja atau tidak pasti pernah melakukannya karena Anda bukan malaikat tanpa dosa. Coba simak hadits ini:

“Tidak halal bagi seorang muslim menakuti-nakuti saudaranya yang muslim.” (HR. Abu Dawud) (hlm. 48).

Terkadang, menakuti-nakuti menjadi sebuah habit saya, ente, antum dan semua derivasinya, dalam dunia pergaulan bebas sehari-hari dan menjadi kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk sangat bisa dimulai dari satu kebiasaan kecil iseng-iseng belaka. Rasa takut adalah sesuatu yang lazim dimiliki makhluk ciptaan Tuhan, dan menjadi sebuah kelemahan yang dimanfaatkan pihak lain untuk tujuan tertentu, untuk bisa menguasai seseorang yang lebih lemah. Maka cobalah kurangi kebiasaan menakuti-nakuti saudara sesama muslim. Ingat, Anda diawasi dari atas langit sana. Coba bayangkan jika Anda yang ditakut-takuti.

Masuk ke perkara ibadah, tidak kalah banyaknya yang diangkat oleh S. Yuwanto hingga menjadi bahan perenungan kita masing-masing. Salah satunya adalah tentang riya’ (memamerkan ibadah):

Sebaik-baiknya ibadah adalah yang dirahasiakan (tidak dipamerkan) (HR. Asy-Syihaaab) (hlm. 10).

Kalau berbicara soal pamer, cukup sulit juga ya mengetahui apakah seseorang itu pamer atau tidak, lagi-lagi hanya Dia Yang Di Atas yang tahu niat manusia. Siapa yang bisa tahu saya shalat berjamaah semata-mata karena Allah atau ada modus lain? Tapi dengan adanya hadits ini, setidaknya setiap umat bisa memberi batasan untuk setiap ibadah yang dilakukannya. Setuju?

Dan satu hadits yang saya setuju banget adalah ini:

Apabila seseorang mengimami orang-orang, hendaklah meringankan sholat karena di antara mereka terdapat anak-anak, orang tua, yang lemah, yang sakit, dan yang punya hajat (keperluan). Dan bila shalat sendirian dapat ia lakukan sesukanya. (HR. Bukhari) (hlm. 68).

Cukup familiar dengan hadits ini? Saya sering mendengarnya dan mempertanyakan dilema dengan fakta di lapangan. Meringankan sholat bisa berarti memperpendek bacaan ayat karena terus terang saja saya kurang menyukai orang yang meringankan shalat dengan mempercepat gerakannya sementara yang diimami tidak selincah gerakan si imam. Sayangnya memang tidak dijelaskan, apakah berarti di saat shalat berjamaah maka imam selalu membaca surat pendek, secara surat pendek hanya ada di juz amma. Apakah sepuluh ayat itu panjang atau pendek. Atau gimana. Paling tidak, saya memakai standar shalat di haramain, tidak terlalu melelahkan dan tidak pula terlalu cepat mengingat jamaah masbuk pasti ada saja bahkan di rakaat terakhir. Buat para imam, silakan memperhitungkan kemampuan para makmum sebelum memulai sholat ketimbang para makmum mendumel dalam hati.

Masih banyak banget hadits di dalam buku ini yang sangat bermanfaat untuk membuat perilaku kita menjadi standar bagi seorang muslim di mana pun juga. Menghafal ribuan hadits belum tentu membuat seseorang lebih baik jika tidak diterapkan dalam kehidupannya sendiri kan? Selamat tidur dan mimpi indah membaca dan selamat merenung.

Yogyakarta, 14 Januari 2015













Previous Post Next Post

نموذج الاتصال