Kita, Kata, dan Cinta (DIVA Press, 2019)





Mulai dari awal tahun, DIVA sudah mengeluarkan beberapa buku fiksi dengan ukuran besar. Kalau di divisi lain, buku ukuran besar bukan hal yang jarang diproduksi. Semisal buku-buku UN dari Divisi Pelajaran dan buku terjemahan sospol dan agama sering mengeluarkan buku “berbobot” dan mahal.
Fiksi terhitung jarang karena secara stok naskah, selalu dibatasi termasuk dalam jumlah halamannya. Dulu sering, sebelum pajak buku mulai menghantui. Pajak otomatis berdampak pada harga jual buku. Belum lagi harga kertas sebagai bahan bakunya cenderung naik.
Tapi kenapa ada buku yang tidak tebal tapi mahal?
Ada faktor lain yang membuat dari penerbit sengaja membanderol lebih mahal suatu produk. Faktor popularitas. Buku fiksi yang terbit, secara garis besar ada 2 jenis: yang sastra dan yang populer.
Untuk fiksi sastra: diisi oleh buku-buku sastra terjemahan, buku kumpulan cerpen, buku puisi, novel yang penulisnya dikenal punya track record dalam dunia sastra. Hampir sama dengan Penerbit Basabasi, hanya saja mereka juga banyak menerbitkan karya penulis yang masih belum terlalu terkenal. Konsepnya saja indie dengan wilayah persebaran tidak seluas DIVA. Bisa saja 1 buku ini dibanderol mahal meskipun tipis. Tambah mahal lagi karena sampulnya dibuat yang jenis untuk bisa menggantikan raket pingpong.
Untuk fiksi populer: diisi oleh penulis-penulis nonsastra. Mudahnya adalah mereka yang tidak terlalu idealis mengkritisi keadaan dunia ini. Mereka bermain dalam ranah pembaca remaja, young adult, dan dewasa. Lebih luas cakupannya. Termasuk karya-karya dari platform kekinian yaitu Wattpad. Persaingannya adalah popularitas. Buku-buku seperti ini dibanderol sesuai dengan hitungan ongkos produksi plus bla bla bla.
Buku yang saya bahas kali ini termasuk dari fiksi sastra. Meskipun dari sampulnya terlihat seperti buku populer. Jangan tertipu dengan sampul. Ada pepatah jangan menilai dari sampul, sebab sampul itu bisa menipu.
Judulnya Kita, Kata, dan Cinta. Ditulis oleh seorang sastrawan bernama Khrisna Pabichara. Dari judulnya bisa menebak apa isi buku ini? Pasti tidak. Hebat sekali jika bisa. Sebab selain kover, judul pun bisa menipu. Harusnya ada juga pepatah jangan menilai buku dari judulnya. Jangan menilai orang dari namanya.
Ketika pertama kali mendapatkan naskah ini, saya tidak mendapatkan gambaran jelas, ini sebenarnya buku apa. Seingat saya tidak ada sinopsisnya. Saya pikir novel romance, tapi rupanya bukan hanya menjual cinta. Tapi juga menjual kata dan tata bahasa Indonesia di dalamnya.
Beberapa tahun belakangan, bermunculan banyak sekali orang berniat baik untuk meluruskan pemakaian bahasa Indonesia yang tepat, saking banyaknya orang Indonesia yang salah kaprah tentang ini itu. Terlebih dengan adanya media sosial, tentunya tidak asing dengan Ivan Lanin yang secara pendidikan tidak punya kaitan dengan kebahasaan. Sementara yang punya latar pendidikan kebahasaan entah di mana mereka berkiprah.
Bukan saatnya menyalahkan orang Indonesia yang salah dalam penggunaan bahasa Indonesia. Akarnya sangat bisa dimaklumi. Bahasa ini disepakati dipakai sebagai bahasa nasional baru mulai kapan? Sebelumnya orang punya bahasa sendiri-sendiri. Belum lagi, bahasa ini tidak hentinya bermetamorfosis. Dari penulisannya, dari penyerapan bahasa asing, dari definisinya, bahkan saya tanya deh: apa yang ada dalam pemahaman Anda dengan kalimat dia tak bergeming? Apakah dia diam atau dia bergerak? Ada lho, termasuk saya sebelum dipaksa untuk rajin buka kamus, memaknai dia tak bergeming sebagai dia tidak bergerak. Padahal, seharusnya dia tidak diam saja alias dia bergerak.
Bagaimana dengan acuhkan? Ada lagu yang liriknya begini: acuhkan saja pacarmu. Padahal konteksnya jangan acuhkan pacarmu, tapi pemakaiannya salah. Karena acuh sama dengan peduli.
Sosial media atau media sosial? Publik figur atau figur publik? Ketidakhati-hatian dalam menyerap bahasa asing makin menambah keruwetan kita.
Memperhatikan. Ini kata yang bandelnya luar biasa. Dalam KBBI (versi 4 kalau tidak salah), kata dasar memperhatikan pernah “perhati” sekarang menjadi “hati”. Dampaknya apa? Dalam imbuhan memunculkan keraguan, apakah memperhatikan atau memerhatikan. Orang yang tidak berkutat dalam dunia kebahasaan tidak akan tahu perubahan itu, secara tidak pernah disosialisasikan kepada publik karena media televisi sibuk mengejar rating dengan menayangkan sinetron atau acara debat politik. Ivan Lanin tidak punya acara khusus di TV. Dia hanya mampu memberi pencerahan lewat akun medsos. Demikian pula Khrisna Pabichara dan orang-orang baik lain yang ingin meningkatkan wawasan kebahasaan rakyat ini, dari tingkat bawah sampai tataran pemerintahan agar membuat naskah undang-undang jangan sampai penulisan diyang digabung eh malah ditulis dipisah.
Salah satu usaha untuk memperbaiki yang dipilih Khrisna Pabichara adalah lewat buku Kita, Kata, dan Cinta. Kurang lebih 30% isinya adalah ilmu kebahasaan yang secara otomatis membuat buku ini besar dan tebal. Sisanya adalah keseharian Sabda seorang sarjana bahasa yang sering kali berinteraksi dengan orang-orang dengan wawasan kebahasaan yang masih sangat kurang. Padahal itu bukan akan SD, mereka sudah cukup dikatakan dewasa secara usia.
Apa yang salah dengan kurikulum bahasa Indonesia? Apakah dengan alasan pelajaran bahasa Indonesia tidak menarik maka menjadi pembenaran bagi orang untuk terus-menerus salah? Ya saya akui, bagi orang yang menyukai matematika, olahraga, sains, nonsains, pelajaran bahasa Indonesia itu receh. Tapi tidak dengan pelajaran bahasa Inggris.
Entah dari mana asalnya, ada semacam kebanggaan bagi orang-orang yang bisa lancar berbicara dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Kalau dibilang akibat penjajahan, kan Indonesia nggak dijajah Inggris. Yang ada negara tetangga tuh.
Dampak dari keengganan orang meningkatkan wawasannya dalam penguasaan bahasa nasional dan gramatikalnya serta tetek bengek lainnya, saya saksikan dalam naskah-naskah yang ditawarkan ke DIVA. Sedih rasanya melihat mereka begitu abai kepada bahasanya sendiri. Keterbatasan seseorang dalam berbahasa akan terlihat dari apa yang ditulisnya, variasi bahasanya banyak atau tidak, cara bernarasinya lancar atau tidak. Penulis-penulis masa kini, semakin lemah dalam bernarasi, mereka karena pengaruh bacaan dengan rentetan dialog, akhirnya mengambil narasi yang itu penting kehadirannya.
Ambil contoh struktur dalam novel yang dipublikasikan di platform daring, misal Wattpad. Berapa persen narasi dan berapa persen dialognya. Narasi dibutuhkan untuk membantu pembaca menyatukan imajinasinya dengan kisah yang dihadirkan penulis. Bagaimana reaksinya pancaindranya, bagaimana dia bergerak, bagaimana personalitasnya. Itu tidak bisa disampaikan dalam dialog. Narasilah tempatnya berkisah.
Mengapa bisa jadi hanya 1 dari 100 naskah yang saya terima, karena tipenya naskah yang masuk benar-benar minim dengan karakter.
Apakah bisa dikaitkan dengan kecanduan menonton ketimbang membaca? Saya belum pernah mendengar hasil penelitian ke arah sana. Kalau ada, tolong beri tahu saya. Tetapi, saya tidak menafikan bahwa kelemahan bernarasi karena adanya keterbatasan penulis dalam menggerakkan pancaindra si tokoh. Sehingga yang keluar dalam teks lebih banyak ucapan, minim dengan ekspresi. Dalam drama Korea misalnya, bukankah dialognya sangat banyak? Itu kemudian terserap dalam benak si penulis padahal, si tokoh juga ada kalanya dia berjalan, berjongkok, termangu, terpeleset, digigit anjing, dan sebagainya.
Apakah menonton drakor salah? Tidak juga, asalkan si penulis bisa memaksimalkan apa yang dilihatnya untuk kemudian ditulis. Kemampuan mengamati, lebih tepatnya. Kemudian kurangnya proses pengendapan juga menjadi salah satu ciri tulisan fiksi akhir-akhir ini. Naskah yang ditulis dengan prinsip nulis sesuka hati tanpa direnungkan kembali, apakah adegan itu penting atau tidak, perlu dibuang atau tidak. Dan tangkapan generasi masa sekarang terhadap penulis itu membuat mereka ingin cepat-cepat sampai di tahap yang telah dicapai role model mereka. Ketika menyebut seorang penulis, mereka akan melihat sosok dengan segudang fan, kaya raya, bukunya laris manis di mana-mana, bisa liburan ke luar negeri kapan pun dia mau.
Pernah dengar bahwa menjadi youtuber adalah cita-cita generasi masa sekarang? Bukan lagi dokter, pilot, insinyur. Tapi profesi-profesi yang mereka lihat bisa bergelimang harta dalam waktu relatif singkat. Yang mereka lihat adalah Youtuber yang bulan ini beli mobil sport anu, bulan depannya liburan ke Eropa. Tanpa tahu bahwa si Youtuber itu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membuat konten, kurang tidur, makan terlambat, membuat target pendapatan karena harus membayar gaji karyawan. Nggak ada pekerjaan yang membuat cepat kaya tanpa kerja keras. Itu realistis.
Kembali ke Kita, Kata, dan Cinta. Krishna Pabichara berusaha untuk meluruskan banyak salah kaprah bahasa Indonesia melalui cerita. Salah satu metode yang baik, tapi ada yang saya rasa menjadi kurang pas karena dalam konteks percakapan. Satu kata contohnya: berengsek. Dalam satu adegan, si Sabda meralat pengucapan kata brengsek menjadi berengsek. Bisa dibayangkan. Hanya untuk kata seremeh itu pun harus sesuai dengan KBBI. Mungkin ada orang yang berpendapat, seharusnya berbahasa Indonesia itu harus baku baik dalam verbal dan nonverbal. Tapi, dalam bahasa lain, bahasa percakapan ya berbeda dengan bahasa resmi. Misal dalam bahasa Arab: kaifa haluk(a/i), di Mesir, pengucapannya antara lain: kefal hal (maaf jika penulisannya salah). Atau dalam bahasa Inggris: ucapan makian biasanya diplesetkan. Contoh: damn menjadi dang, shit menjadi shoot. Karena kata-kata itu tidak boleh diucapkan di acara live apalagi penontonnya ada anak-anak.
Sabda mengabaikan peran fungsi bahasa cakap. Saya kurang sepakat. Kalau dalam narasi di teks, itu baru prioritas digunakan. Logat kedaerahan pun akan menjadi korban tereliminasi oleh tingkahnya Sabda. Selain dalam ranah bahasa percakapan, selebihnya saya tidak mempermasalahkan. Semisal, pelurusan penggunaan geming dan acuh. Jangan lagi terbalik maknanya.            

Ditujukan pada siapa buku ini? Akademisi? Pengajar bahasa Indonesia? Mahasiswa? Editor? Siapa pun yang membutuhkannya tanpa harus melihat latar belakang. Orang asing pun bisa menggunakannya sebagai bahan referensi. Tabel-tabel yang termuat sepertiga bagian buku ini memang sangat banyak, dan saya yakin ini hanya akan menjadi bagian yang tidak acuhkan, kecuali misalnya varian kata. Itu menarik untuk membuat tulisan tidak hanya menggunakan kata yang sama terus.
Harga yang mahal memang membuat buku ini tidak akan mampu menjangkau semua kalangan. Saya harap buku ini setidaknya tersedia di perpustakaan-perpustakaan sekolah dan umum. Meskipun toh yang masih suka ke perpustakaan lagi-lagi jumlahnya tidak banyak. 
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال