Kun Fayakun (DIVA Press, 2019)





Ada satu rubrik yang saya ingin tambahkan di blog ini mengingat rasanya sangat-sangat wajar untuk mengomentari sebuah buku yang sedikit banyak sebelum produk tersebut dilempar ke pasaran, ada proses di mana saya ikut terlibat.
Ini sama sekali bukan review atau kritik buku sebab saya kurang berminat. Tetapi, saya menuliskan sedikit banyak mulai dari bagaimana proses editingnya, layouting, pembuatan kover, sampai saya lepas untuk dicetak.
Untuk edisi perdana, saya akan mulai dengan novel religi berjudul Kun Fayakun. Novel ini ditulis oleh Andi Bombang (alm) ke dalam 3 seri. Pertama kali terbit pada tahun 2007, 2 tahun sebelum saya bergabung dengan DIVA Press. Terbit lagi pada tahun 2012 dengan judul Dzikir Ilalang. Saya tidak tahu kenapa diganti judulnya. Untuk ketiga kalinya terbit kembali ke judul asli, dengan tampilan yang semuanya baru.
Untuk editing, saya tangani sendiri.  Naskah itu tebalnya 800-an halaman Word. Saya nggak tahu, ketika terbit kedua kali di tahun 2012 apakah diedit ulang ataukah tidak.
Kenapa harus diedit ulang?
Bagi saya pribadi, kondisi kebahasaan kita itu dinamis. Editing di sini bukan berarti SMS diganti WA atau segalanya serba disesuaikan dengan masa sekarang. Beberapa hal yang terlihat berubah jika membandingkan Kun Fayakun antara edisi pertama yang sekarang antara lain:
Pertama, penyesuaian kata sesuai KKBI terbaru. Mana yang harus dileburkan, mungkin di masa itu belum ada konsistensi (atau mungkin sudah tapi editor punya pegangan tersendiri, itu tidak salah). Contoh aja: mempercayai itu sudah berubah menjadi memercayai. Kemudian kata-kata yang kita terbiasa dengan itu tetapi ternyata KBBI menentukan lain. Misal: ruh dalam KBBI adalah roh.
DIVA sampai saat ini masih memegang beberapa penulisan istilah yang berasal dari bahasa Arab tanpa mengikuti KBBI. Yang paling jelas adalah shalat tidak diubah menjadi salat. Jumat masih ditulis Jum’at. Al-Qur’an tidak menjadi Alquran.
Kedua, memaskan baris-baris dialog agar tidak membingungkan pembaca. Ada kalanya, menuliskan satu dialog lalu disambungkan dengan narasi akan menjadi ambigu saat dibaca. Piihan saya untuk memakai enter adalah meminimalisir salah tangkap pembaca.     
Ketiga, mengurangi kata-kata yang terlalu sering dipergunakan karena terbawa bahasa percakapan (mungkin si penulis). Beberapa kata yang sangat ingat sering sekali muncul dalam teks adalah: ini, itu, lalu. Sekiranya kata-kata tersebut bisa memakai variasi atau bahkan dihilangkan agar pembaca semakin menikmati jalan ceritanya.
Keempat, memotong kalimat penjelas yang berulang-ulang. Ini bisa dibilang semua editor harus melakukannya saat melaksanakan tugas, kecuali penjelas tersebut secara tersirat digunakan dengan maksud tertentu. Tapi bayangkan jika dalam bab yang sama, penjelas tertentu terus dipergunakan sementara pembaca bisa dipastikan masih ingat.
Hasil editing tidak mengurangi jumlah halaman awal terlalu signifikan. Terbukti terbit dengan ukuran buku lebih besar dan tebalnya sama dengan terbitan pertama kali.
Kemudian untuk pengerjaan kover saya serahkan Kun Fayakun dan 2 seri lanjutannya Saat Cinta Berhijrah dan Dan Dia-lah Dia pada Genta “@sukutangan”. Kover Kun Fayakun menampilkan simbol borgol karena secara garis besar si tokoh utamanya adalah penjahat, meskipun dia tidak pernah terciduk polisi. Tetapi simbol ini sangat mewakilkan gambaran dari isi bukunya. Dibuat dengan warna dominan ungu dan memasukkan unsur biru. Font-nya minimalis dan tidak dicetak terlalu besar.
Siapa pembaca buku ini? Apakah semua umat Islam bisa membaca buku ini? Membaca iya, tapi sepakat itu hal yang berbeda.
Oh ya jika ada umat agama lain yang senang membaca buku ini, silakan saja. Dengan catatan, siap-siap bingung, sebab memahami ajaran Islam di tataran permukaan saya sulit, apa lagi sudah semakin jauh ke wilayah hakikat. Tidak ada tendensi menjatuhkan ajaran agama lain.
Kembali ke siapa pembaca buku ini?
Pertama, umat Islam yang selama ini gemar “memvonis” umat Islam lain dengan “masuk neraka”, atau “kafir”, atau “bid’ah”, dan sebagainya. Semoga mendapatkan percerahan, memperluas pemahaman, dan semakin takut pada Tuhan sehingga lebih berhati-hati dalam menghukumi sesuatu.
Kedua, umat Islam yang penasaran dengan hakikat. Termasuk saya yang selama ini tidak pernah tahu apa yang diperdalam dalam sebuah tarikat. Baik atau tidakkah? Apakah mereka masih mengerjakan syariat atau tidak? Dan keingintahuan lainnya. Dan ada sat bagian yang saya suka yaitu nasihat penulis lewat tokoh Pak Giri bahwa orang yang memperdalam syariat adalah pilihan. Orang yang menjalani hakikat pun demikian. Tidak ada yang salah dengan itu. Tidak perlu semua orang ditarik masuk untuk tenggelam dalam hakikat. Syariat pun sudah baik, jika akhlaknya sudah baik. Dan orang yang menekuni hakikat tetap harus menjalankan syariat.
Lalu saya merenung, Rasulullah Saw. Tentulah menguasai keduanya. Pembagian hakikat dan syariat tidak di saat ajaran beliau turun dari langit kan? Semakin ke sinilah umat Islam mulai makin beragam. Makin dikotak-kotakkan.
Ketiga, pembaca novel religi islami. Siapa pun itu. Kun Fayakun karena mengambil sudut pandang hakikat, maka coraknya berbeda dengan yang roman macam Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih yang dominan dengan percintaan dua anak manusia. Lewat Hardi Kobra, kita masuk dalam dimensi imajinasi yang asing. Di situlah akan memicu rasa penasaran untuk tahu bagaimana sih kunci untuk masuk ke jalur pendalaman hakikat dan bagaimana tugas seorang mursyid sangat penting demi mencegah seseorang terpeleset dari jalur.
Nah, dan terbitlah novel ini pada bulan Maret. Selamat berburu dan semoga bisa menikmatinya.   

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال