Tell Me What You Saw (2020)



Setelah mengikuti Doctor Prisoner, drakor yang menjadi mangsa berikutnya adalah Tell Me What You Saw. Ini masih dalam genre kriminal, tetapi mengambil tema penyelidikan tentang pembunuh berantai. Serial ini tergolong baru dan juga mendapat review bagus di beberapa media sehingga ayolah nonton, selain highlight bahwa salah satu member k-pop idol dari SNSD ikutan main di sini. Perannya lumayan penting. Tidak juga utama sebab dia digunakan sebagai "alat bantu"detektif untuk menemukan identitas sebenarnya si pembunuh berantai yang sakit geniusnya, sehingga banyak pembunuhn lainnya yang mengikuti jejaknya.
Di sini, serial ini secara tersirat ingin menyampaikan bahwa, detail perbuatan kejahatan seseorang yang diekspos ke media, punya dampak buruk, yaitu menjadi inspirasi untuk orang lain menirukannya. Saya rasa, termasuk juga yang terlihat di serial TV atau film.
Maka, buat para orang tua, tolonglah kalau sudah tahu tontonan itu mengandung unsur kekerasan sekiranya anak Anda itu punya potensi psikopat, jangan dibiarkan sering-sering nonton hal-hal kriminal. 
Saya akan bahas dulu dari plot. 
Sekitar 5 tahun lalu (settingnya tahun 2020), pihak kepolisian Mucheon sedang melakukan pengejaran terhadap seorang pembunuh berantai yang sedang ngehits. Dalam pengejaran itu terjadi kecelakaan dan menyebabkan si pembunuh itu mati dan salah seorang detektif mengalami luka parah karena ledakan mobil. 
Lima tahun kemudian, ditemukan mayat terpotong-potong yang disimpan dalam koper lalu ditemukan oleh seorang warga ketika hujan-hujan. Mayat itu diduga hasil perbuatan si pembunuh berantai karena ditemukan permen mint yang merupakan ciri khasnya. 
Salah satu ciri pembunuh berantai adalah karena kesamaan cara membunuh tentu saja. Sehingga disebut berantai. Beda dengan pembunuh tidak berantai. Lanjut.
Kasus ini kemudian ditangani oleh Tim Investigasi dari kota dengan pemimpinnya adalah seorang detektif yang lima tahun lalu mengejar pembunuh berantai ini. Rekannya yang masih hidup tetapi sengaja menghilangkan jejak setelah terkena ledakan mobil, juga menduga bahwa si pembunuh itu memang masih hidup. Entah bagaimana caranya bisa selamat dari tragedi itu.
Petugas polisi yang pertama kali menemukan jenazah korban mutilasi adalah seorang petugas polisi yang mempunyai ingatan fotografis. Tentu saja, kemampuan itu tidak selalu keluar begitu saja. Dalam kondisi tertentu, ia bisa merekam begitu banyak detail walaupun hanya melihat sekilas. 
Petugas ini memang masih baru, bukan pula polisi jagoan karate. Ia tinggal bersama sang ayah yang difabel. Ibunya meninggal ketika ia masih usia belasan karena, kesalahannya, yang enggan dipanggil ibunya saat hujan untuk memberikan payung. Ibunya tewas karena korban tabrak lari dan pelakunya adalah targetnya. Ibunya juga difabel. Dugaan saja, anak ini malu karena kekurangan orang tuanya.
Untuk membantu tim investigasi, polisi ini dipanggil dan tinggal di kost murahan yang dindingnya sangat tipis sehingga pembicaraan dengan mudah terdengar orang penghuni kamar sebelah. Saya pernah menonton salah satu episode Asianboss yang membahas tentang semacam rumah susun murah di Jepang. Ada yang benar-benar sangat kecil. Tapi banyak yang tinggal di sana.
Hambatan penyelidikan tidak hanya karena ada orang yang mengaku-ngaku sebagai si pembunuh berantai. Pada kenyataannya, dia memang pembunuh, tapi bukan dia yang dikejar. Para pembunuh bermunculan. Belum lagi, Tim Investigasi dianggap lalai karena tersangka pembunuh yang sedang mereka tahan di ruang interogasi, tewas dibunuh, oleh seseorang, yang mungkin inilah si pembunuh sesungguhnya. Bisa juga pembunuh yang sama sekali tidak terkait tetapi ia punya selera membunuh yang lebih baik. Lebih rapi, lebih kejam.
Berbicara tentang speed, made in Korea tentulah berbeda dengan made in USA atau UK. Masih terasa bahwa drama ini berjalan lambat dan cepat membuat saya bosan. Ketergantungan pemimpin Tim Investigasi kepada si detektif yang seumur hidupnya duduk di kursi roda, bergantung dengan obat penenang, dan buta, membuat karismanya tidak memancar kuat. Dia seperti menjadi harus selalu berkonsultasi sebelum bertindak seakan ia tidak bisa bergerak sendiri, dengan caranya sendiri. Keputusannya untuk memasukkan seorang petugas polisi yang tidak punya kemampuan bela diri dan mudah ditumbangkan, semata-mata hanya karena kemampuan fotografisnya, itu juga membuat repot. 
Bagaimana mungkin seorang polisi refleksnya begitu buruk? Memangnya ketika sekolah polisi tidak berlatih pertahanan diri? Seperti polisi di film India saja.
Sementara itu, gerak sang detektif juga dihambat oleh seorang jaksa. Ini jaksa dari Doctor Prisoner. Perannya di sini menjadi antagonis yang memanfaatkan salah satu personel Tim Investigasi untuk mendapatkan informasi terbaru dari pergerakan tim itu karena ia menyukai tim lainnya. Konflik internal yang sepertinya terjadi di institusi mana pun. Ketika saya menulis ulasan ini, saya belum tahu kenapa si jaksa bisa memanfaatkan si anggota Tim Investigasi. Dia pasti  punya kartu penting sebagai nilai tawar.
Versi yang saya tonton ini sudah disensor pada hal-hal yang beraroma darah dan senjata. Diburamkan, seperti menonton acara kejahatan di televisi. Tapi, proses penyiksanya tidak dipotong. Alias percuma saja sensor-sensor seperti itu kalau lewat dialog dan adegan, bisa dibayangkan prosesnya. Mau diburamkan, palunya tetap kelihatan. Nggak sekalian ditutupi stiker emotikon aja biar aman?
Bagi saya, serial tipe seperti ini memang harus dijaga kecepatan berceritanya. kalau tidak, akan ada ruang-ruang yang bawaannya pengen skip aja.

Post a Comment

Previous Post Next Post