Sebelum ini saya membahas film Happiest Season yang bernuansa Natal. Banyak yang mendadak bucin karena pasangan manis Abby dan Harper. Entah berapa juga yang menjadi lesbian gara-gara itu. Tapi yang pasti, bukanlah film genre LGBT yang mutlak mengagumkan tahun ini ... menurut saya.
Kenapa?
Setelah Happiest Season, algoritma Youtube mempertemukan saya dengan trailer Ammonite, yang beberapa bulan sebelumnya, pernah saya lihat, saya tunggu, kemudian saya lupa begitu saja karena toh tidak ingat kapan akan dirilis.
Yang jelas saya berminat nonton karena faktor KW alias Kate Winslet. Tahu sendirilah kalau Kate filmnya terbilang jarang dan sekalinya main film kok ya saya malah tidak pengen tonton. Terakhir yang saya tonton adalah The Mountain Between Us, ceritanya dua orang terjebak di gunung berlapis salju setelah mengalami kecelakaan pesawat. Film yang cukup menyebalkan.
Lawan mainnya kali ini adalah aktris muda Amerika berdarah Irlandia, Saoirse Ronan, yang terakhir saya nonton filmnya Little Women, tapi favorit saya jelas Lady Bird. Saoirse ini semacam generasi barunya Scarlett Johannson, jika dia bisa mempertahankan diri jauh dari narkoba dan skandal macam-macam.
Kedua aktris ini sudah pernah mengambil peran bermacam-macam, antagonis, protagonis. Jadi saya suka mereka bukan karena cantiknya doang. Aktingnya memang mendalam.
Kita bahas filmnya.
Ammonite merupakan film yang mengangkat kehidupan Mary Anning, seorang ahli fosil atau paleontolog Inggris yang diakui secara luas, tapi mengingat zaman tahun 1800-an paleontolog perempuan tidak pernah dianggap hebat oleh para lelaki, di dunia yang memang didominasi para lelaki, yang memilih menyendiri di sebuah distrik tepi pantai bernama Lyme Regis.
Sisi kehidupan difokuskan bukan pada ketika Mary menemukan fosil-fosil di pantai yang memang banyak terdapat di sana, lalu penemuannya itu dia bersihkan lalu dijual ke British Museum untuk membiayai hdiupnya bersama sang ibu.
Francis Lee, si penulis skenario sekaligus sutradara, mengambil momen ketika Mary yang tidak menikah menemukan cinta dari sosok seorang perempuan bernama Charlotte Murchison. Di kehidupan nyata Charlotte bukanlah perempuan seusia Saoirse. Dari sebuah artikel, dikatakan bahwa usia Charlotte sesungguhnya lebih tua 11 tahun dari Mary sementara Kate lebih tua 19 tahun dari Saoirse. Yang brondong harusnya Mary.
Ketika saya membahas ini, tidak bisa tidak, akan sesekali membandingkan dengan fakta sebenarnya. Kebenaran soal kisah cinta kontroversial Charlotte dan Mary tidak ada bukti otentik. Anehnya, pihak kerabat Mary membolehkan fiksionalisasi kehidupan Mary diangkat ke layar lebar oleh Francis Lee.
Di Indonesia, sampai tahun 2020, hampir 2021, mana bisa seperti itu terjadi? Bisa dihujat netizen +62 lalu diundang podcast Deddy Corbuzier buat klarifikasi. Meskipun nantinya di awal film ditulis jelas-jelas sebagian diangkat dari kisah nyata. Netizen pasti tidak siap.
Bukti bahwa Mary diakui namanya dalam dunia paleontologi adalah cukup banyak paleontolog dari London yang datang ke rumahnya lalu melihat-lihat fosil yang ia temukan. Ada yang dibeli lalu diakui sebagai temuannya sendiri. Secara eksplisit itu masuk di dalam dialog. Salah satu di antara paleontolog itu adalah Roderick Murchison, yang juga suami Charlotte.
Suatu hari, Roderick jauh-jauh datang dari London ke Lyme. Jarak dari London ke Lyme sekitar 250 kilometer dan ditempuh dengan menumpang kapal. Bersama sang istri dia menginap di hotel, menemui Mary sekaligus ingin menitipkan istrinya yang dilanda murung sementara dia tur keliling Eropa.
Tidak begitu jelas alasan kemurungan Charlotte, apakah dia baru keguguran atau merasa kesepian sebab sang suami sibuk dengan pekerjaannya. Di salah satu adegan, yang saya pikir mereka akan berhubungan suami istri eh ternyata suaminya mengabaikan begitu saja. Kan bangsat ya. Entah wangsit dari mana Roderick menitipkan istrinya kepada sesama paleontolog yang secara personal tidak dia kenal secara emosional ketimbang mengajaknya turut serta memburu fosil-fosil. Logika di bagian sini yang saya belum temukan jawabannya. Jelas di bagian awal, Mary menolak, karena dia sudah tidak membuka peluang menerima asisten atau sebagainya. Tapi, iming-iming bayaran besar mengambyarkan segalanya. Wong hidup pas-pasan kok masih sok jual mahal.
Roderick berharap istrinya bisa memulihkan diri dari kondsi murung (saya curiga dia depresi dengan adanya terapi mandi di pantai yang harus dia jalani) dengan berada di lingkungan pantai, melihat pantai, menghirup udara pantai sekaligus mempelajari kehidupan Mary. Kenyataannya, malah merepotkan Mary dengan kondisi Charlotte yang demam gegara berenang di pantai.
Demam dan membuat Mary repot harus meluangkan waktu mengurus bocah lemah yang kondisinya memprihatinkan. Mary yang sibuk dengan dirinya sendiri, harus menepikan sedikit egonya dengan membeli Salve yang semacam Safe Care lalu mengoleskan ke tubuh Charlotte. Dia yang dioles kenapa saya yang merinding nih.
Karena kesabaran Mary, Charlotte pun membaik. Dokter sampai memuji kebaikan hati Mary. Dan si dokter ini sepertinya menyimpan rasa kepada Mary tapi Mary tidak peduli. Sikap Charlotte kepada Mary mulai berubah, yang awalnya cuek dan semaunya sendiri, menjadi berusaha memahami pekerjaan Mary yang sangat menyita waktu. Dia pernah berucap benci dengan pantai, tapi kemudian dia malah menjadi bersemangat tiap kali menemani Mary mencari fosil-fosil di pantai. Pekerjaan Mary bukan sesuatu yang menyenangkan bagi orang yang tidak paham. Dan lama-lama menyenangkan. Terlebih ketika mereka menemukan fosil besar lalu dibawa pulang.
Itu turning point. Mereka berciuman yang sebenarnya hanya dimaksudkan sebagai ciuman selamat malam. Mereka sudah berada di frekuensi yang sama. Semenjak mereka diundang menonton resital musik di rumah sang dokter yang tadi saya bilang menyukai Mary. Awalnya si dokter hanya mengundang Mary eh tapi Mary maksa agar Charlotte juga diundang. Padahal Charlotte baru saja pulih dari demam.
Saat di depan rumah si dokter, mereka pegangan tangan. Nah, mulai dari sini nih cinta di antara mereka sepertinya mulai muncul. Untuk acara resital, si dokter mengundang relasinya yang tidak satu pun dikenal oleh Mary. Orang-orang penting pastinya. Mary yang bosan lalu keluar dan merokok sementara Charlotte yang berasal dari kalangan orang kaya, mudah saja berbaur dengan para istri keluarga kelas atas. Ketika acara resital dimulai, Charlotte duduk di barisan depan dan Mary terus melihatinya dari barisan paling belakang. Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Sebelum acara selesai, Mary pergi begitu saja, meninggalkan Charlotte meski hujan turun deras.
Charlotte heran kenapa dia ditinggalkan Mary. Emang bocah ini kurang punya empati. Enak saja dia mengabaikan Mary yang mengajak dia ke acara itu. Kalau bukan karena paksaan Mary, dia tidak akan bisa ada di acara itu. Lha memang si dokter pengen modus ke Mary.
Perlahan, Charlotte berubah sikap semakin manis dan membayangi Mary. Waktu kebersamaan mereka memang dijadwalkan hanya 4-5 minggu. Cukup singkat, terlalu singkat untuk memahami sebuah rasa yang baru tumbuh di antara keduanya.
Alasan Mary tidak menikah tidak ada yang tahu. Dia memilih jauh dari London, mengisolasi dirinya, menjadi bahan pergunjingan orang sekitar karena kesendirian dan kemandiriannya. Yang dia lakukan hanyanya mengorek-ngorek batu di pantai dan berjualan souvenir yang dihargai murah. Makannya apa adanya. Kehidupan yang memosankan.
Kehadiran Charlotte yang kaya raya memberi warna baru di luar konteks cinta. Charlotte membantu Mary dalam memberi harga yang pantas untuk temuan-temuan langkanya. Tidak lagi dijual sangat murah dan itu pun kemudian orang dengan mudah mengeklaim sebagai temuan sendiri. Karena bagaimanapun, Mary hanya seorang paleontolog perempuan yang belum pantas disejajarkan dengan siapa pun.
Bagaimana hubungan cinta di antara Mary dan Charlotte bisa tumbuh? Alasan kebersamaan dan sikap protektif Mary adalah faktor penting. Barangkali Mary memandang Charlotte sebagai gadis rapuh sehingga muncullah rasa sayang. Dan Charlotte dalam posisi kesepian yang makin diperparah dengan sikap masa bodoh sang suami. Ketika Charlotte sakit, suaminya mana ada dia datang dan menemani? Mengirim surat saja cuma sekali. Sementara Mary telaten mengompres dan rela tidur di kursi. Kursi lho, bukan sofa. Namanya juga orang miskin, mana ada sofa.
Ketika mereka pegangan tangan, walau hanya sekejap, itu semacam sinyal adanya rasa di antara mereka.Mary yang pertama menyadari itu, tapi melihat status Charlotte, sepertinya dia langsung mengusir jauh-jauh perasaannya. Ehlahdalah, Charlotte yang kelihatan lugu, ternyata punya keberanian lebih untuk memulai.
Penonton harus menunggu agak lama hingga keduanya berciuman. Sutradara tampaknya tidak berniat membuat saingan dari film Blue is the Warmest Color yang adegan gituannya banyak dan panjang. Emosi penonton dibangun sangat perlahan. Sutradara tidak melulu bertujuan fokus pada hubungan itu, tapi pada sosok Mary juga. Dan berhasil. Totalnya ada dua kali mereka beradegan mesra. Adegan yang kedua, unik. Bagi saya terbilang sangat liar. Saya tidak yakin Kate maupun Saoirse pernah melakukan adegan ini dengan lawan main di film sebelumnya. Apalagi lawan main lawan jenis. Adegan ini juga disebut-sebut sebagai hadiah ulang tahun Kate Winslet kepada Saoirse Ronan yang ke-25. Pernyataan ini secara eksplisit Kate bilang ke media. Saya tidak tahu apakah Saoirse senang atau senang banget dengan hadiah ekslusif dari Kate ini. Kalau saya sih ... senang menontonnya. Jarang-jarang soalnya aktris papan atas mau melakukannya untuk sebuah film indie.
Bagian ending saya rasa cukup menjadi jawaban jelas bagi penonton mengapa harus seperti itu. Lagi-lagi terkait dengan fakta sehingga yaaa ... ya mau bagaimana lagi? Yang pasti, film ini, sekontroversial bagaimanapun, tidak memicu protes, terutama dari pihak keluarga. Tidak ada yang tersakiti, kan?
Semoga di lain kesempatan, Kate dan Saoirse ketemu lagi. Entah dengan peran apa pun itu. Saya menunggu saja.