Happiest Season (2020); Film Komedi Romantis Natal Keluarga LGBT




Saya bukan seorang penggemar setia film-film bernuansa Natal. Sebab variasi ceritanya tidak begitu banyak, apalagi yang bergenre romantis, pulang kampung bersama pasangan, kesibukan Pak Santa bagi-bagi hadiah, atau film anak-anak, dan sejenis itulah. Ditambah lagi saya tidak merayakannya.

Happiest Season adalah sebuah film Natal. Saya nonton karena faktor KS alias Kristen Stewart yang main jadi pemeran utama. Kalau hanya pemeran pembantu, tukang kebun, atau tukang potong rambut, mana mau saya nonton trailer dan filmnya berkali-kali.

Tayang di Netf ... ups.. Hulu maksud saya, pada 25 November 2020, sebulan sebelum Natal. Tidak pas hari Natal tentu saja, karena orang-orang sibuk dengan acara makan malam dan tukeran kado. Lawan main Kristen adalah si aktris cantik dan jangkungnya luar biasa, Mackenzie Davis, yang film box office pernah dibintanginya adalah Terminator: Dark Fate. Ini bisa saya bilang, versi penerusnya Charlize Theron. 

Mereka memerankan Abby dan Harper, sepasang kekasih yang menjalin hubungan belum lama-lama amat. Perbedaan tinggi badan mereka membuat saya agak terganggu sebenarnya. Kenapa tim kasting tidak mencarikan perempuan yang tingginya sepadan dengan Kristen sehingga ketika berciuman, pasangan mainnya tidak perlu terlalu membungkuk.

Selain Kris dan Mackenzie, ada aktor-aktor ternama lain di film besutan sutradara Clea DuVall ini, seperti Alison Brie, Mary Holland, Dan Levy, dan Jake McDorman. Peran mereka terisi dengan baik. Alison Brie sebagai Sloane si kakak sulung yang jutek, Aubrey Plaza sebagai Riley si mantan pacar Harper, Jake sebagai Connor si mantan pacar Harper (lho?), Dan Levy sebagai John teman sejiwa Abby, lalu Mary Holland sebagai adik bungsu Harper.

Ini adalah film studio besar yang digarap oleh Clea DuVall. Dia bukan orang baru di dunia film. Belakangan konsistensinya menggarap karya-karya berlatar LGBT hampir sama intensnya dengan Kristen Stewart memerankan karakter lesbian. Walaupun menurut saya, lesbian memerankan lesbian itu kurang tantangannya.

Di awal film, penonton diperkenalkan kepada sepasang sejoli yang masih hangat cintanya menjelang Natal. Mereka ikut sebuah acara tur Candy Cane Lane dengan berjalan kaki melewati spot-spot yang penuh dengan lampu-lampu. Abby kurang menikmatinya, seperti halnya tidak begitu bersemangat menyambut Natal. Tur itu seolah usaha Harper untuk membuat Abby menyukai Natal. Dari mimik wajahnya, kelihatan Abby berusaha menghargai Harper. Soal ekspresi memaksakan senyum, Kristen memang tidak diragukan, dia ahlinya. 

Lalu muncullah dalam benak Harper mengajak Abby liburan ke rumahnya, sebab Abby sudah tidak punya orang tua. Saat itu, Abby kayaknya berpikir keras, tapi akhirnya setuju. Besoknya, malahan Harper yang berharap hal itu tidak terjadi. Tentu saja bukan soal binatang peliharaan yang akan ditinggal, tapi soal hubungan mereka yang sebenarnya belum diketahui keluarga Harper.

Sampai di sini sudah bisa menebak ending film? Dengan logika, hanya ada dua kemungkinan kan? Tapi, saya menonton film ini bukan untuk endingnya belaka. Kan tinggal skip-skip dan bukannya malah saya ulang-ulang adegannya dong pastinya. Saya merindukan Kristen Stewart setelah terakhir saya menonton dia di Charlie's Angels yang dinobatkan sebagai film gagal versi netizen. 

Berada di dalam sebuah keluarga notabene baru dikenal, apalagi Abby baru tahu kalau Harper bohong bahwa keluarganya sudah tahu soal orientasi seksualnya, ditambah keluarga Harper adalah tipikal keluarga yang memandang LGBT sebagai hal memalukan, ciri masyarakat Amerika yang religius pada umumnya, tentu membuat Abby kagok setengah mati. Mau bicara saja kudu hati-hati, apalagi kebelet pengen mencium pacar kudu sembunyi-sembunyi.

Bukan cuma itu, Connon si mantan pacar, ehlahdalah kok ya masih jomblo dan dekat dengan keluarganya Harper. Kebayang Abby merasa seperti makin terbuang begitu saja. Dianggap tidak lebih sebagai teman sekamar Harper yang kebetulan diajak natalan bareng. Lima hari berada di rumah keluarga pacar, alamat bakalan seperti di neraka kalau begini.

Harper pun rada kurang ajar. Masa iya dia di bar sampai dini hari dengan Connor. Apa sudah kamu renungkan, ada hati yang potek gegara perbuatanmu? Sungguh hina kau, Mantili! 

Oh ya alasan Harper boleh dibilang mewakili alasan orang-orang untuk tidak berterus terang soal orientasi seksualnya. Harper adalah anak kesayangan keluarga. Dia anak kedua yang selalu mendapatkan perhatian. Dia punya kakak perempuan yang punya karier bagus sebagai pengacara, tetapi ditinggalkan setelah menikah. Dia punya adik yang menjadi sebagaimana anak bungsu dalam keluarga, tidak punya beban hidup, selain novelnya yang sepuluh tahun tidak selesai-selesai. Bangsat, kok mirip saya. Dan lagi, ayah Harper adalah seorang calon wali kota yang mana kredibilitasnya harus dijaga baik-baik. Jangan sampai ternoda.

Jadi, paham kenapa Harper tidak bisa menjadi Harper? Tapi dia tidak mau kehilangan Abby seperti dulu dia pernah kehilangan Riley. Riley juga baik soalnya dan punya karier sebagai dokter. Mereka putus ya karena Harper memilih menyembunyikan dirinya. Aku suka dengan dialog ini: "I'm not hiding you, I'm hiding me." Hayo gimana enaknya menerjemahkan kalimat ini ke bahasa Indonesia agar enak diucapkan? Susah kan? Rasakan!

Abby merasa cemburu dengan Connor rasanya terbalas telak ketika Harper melihat Abby jalan dengan Riley. Cuma jalan lho. Nggak pegang-pegang, nggak minum-minum sampai pagi. Serius, puas banget melihatnya. Asal tahu saja, Abby nggak sebegitu desperate-nya sampai khilaf lalu ngajak tidur mantannya pacar. Putusin dulu kali tuh hubungan yang sedang di ujung tanduk rusa.

Dan ketika kata "putus" terucap, maka itu tandanya masa kritis tiba. 

Seperti biasa, film bergenre ini akan memberikan jeda setelah klimaks sebelum penutup. Kebetulan, seperti saya bilang sebelumnya, ada tokoh bernama John, teman baik Abby. Tenang, dia gay, nggak bakalan mencuri kesempatan di tengah pergolakan konflik. Dia datang setelah mencium ada sesuatu yang tidak beres dengan Abby. Selain menebus rasa bersalah ikan peliharaan Abby mati karena dia nggak urus. John juga orang yang vokal menolak ketika tahu bahwa Abby berniat melamar Harper dengan alasan yang sangat sering kita dengar dari LGBT tentang pandangan mereka soal pernikahan yang heteronormatif, patriarki, dan sebagainya.       

Film yang berada di bawah bendera SONY ini bisa dibilang memang bukan film Natal LGBT pertama. Carol termasuk mengambil setting Natal. Mungkin ada lagi lainnya tapi ini sudah terlalu larut untuk browsing-browsing lagi.

Buat yang kangen Kristen Stewart dengan rambut panjang, tontonlah Happiest Season, sementara menunggu film Spencer yang sepertinya bakal dihujat netizen mengingat Kristen yang slengean itu akan memerankan Putri Diana yang anggun. Akan memakai logat British-kah dia? Entahlah.  

Post a Comment

Previous Post Next Post