The Miseducation of Cameron Post (2018); Hari-Hari Panjang untuk Penyembuhan Diri


 

Diadaptasi dari novel karya Emily M. Danforth, apa yang kemudian dihadirkan di layar lebar tidak mewakili sepenuhnya isi buku ditambah adanya beberapa penyesuaian lain. Saya membaca ringkasan dari Wikipedia bahwa di versi novel ada cerita latar belakang sebelum Cameron mulai diam-diam bercinta dengan Coley. Tentu saja Desiree Akhavan dan Cecilia Frugiuele sudah membuat keputusan terbaik untuk mengabaikan bagian-bagian yang dianggap tidak begitu penting sehingga dalam kemasan 90 menit, orang bisa memahami cerita dan memahami emosional tiap-tiap karakter. Bukankah itu poin terpenting dari sebuah adaptasi, diterima oleh penonton dan mendapatkan resepsi yang sesuai? Terbukti film ini mendapat apresiasi tertinggi di Sundance tahun 2018. Rasanya tidak berlebihan sebab Desiree Akhavan tahu caranya menyentuh empati penonton dari sebuah film LGBT remaja. Ini bukan karya pertamanya.

Pemilihan Chloë Grace Moretz, yang kalau di Indonesia mirip Nagita Slavina, harus memerankan anak SMA, tidaklah keliru mengingat wajahnya masih pas untuk memerankan karakter lima tahun lebih muda. Walaupun, dia tidak mendapatkan penghargaan apa-apa saat memerankan Cameron Post. Film ini tidak semata-mata menggantungkan harapan pada akting Moretz. Melainkan kemasan secara keseluruhan. Karakter-karakter remaja yang dianggap bermasalah dengan identitas gendernya. Kalangan yang sedang bingung dengan dirinya sendiri dan “dipaksa” untuk berubah karena menurut ajaran agama, mereka salah, dalam sebuah program keagamaan.

Kalau di Indonesia, yang masuk ke pondok pesantren karena ketahuan punya kecenderungan tertarik kepada sesama jenis, bukan untuk memperdalam ilmu agama, juga ada. Outputnya macam-macam. Udah tidak tertarik lagi apa makin parah ketika keluar dari sana.

Usaha menyembuhkan kecenderungan homoseksual tidak sesederhana merehabilitasi pecandu narkoba atau alkohol. Karena tidak disebabkan oleh zat kimiawi yang dikonsumsi. Sehingga setiap remaja yang berada dalam program God’s Promise yang dikelola oleh Dr. Lidya March bersama adiknya Pendeta Rick-yang mana Rick dulu pernah mengalami ketertarikan sesama jenis-didesak agar mencari kesalahan-kesalahan dari masa lalu. Oke, mungkin ada yang bisa menemukan jawabannya. Tapi Cameron tidak. Dia hanya jatuh cinta kepada Coley di saat dia berpacaran dengan teman sekolahnya yang bernama Jamie. Dia tidak pernah diperlakukan buruk oleh orang tuanya-dan orang tuanya pun juga sudah meninggal, dia tidak pernah disakiti laki-laki, dia tidak berlebihan dalam olahraga sehingga membuat hormon maskulinnya lebih tinggi.

Ketika remaja lain bisa mengisi gambar gunung es dengan masalah masing-masing, dia kesulitan melakukannya.

Selain Cameron, remaja bermasalah yang ada di program itu adalah Jane dan Adam. Mereka bertiga menjadi akrab dan sering menikmati ganja bersama. Ganja yang ditanam Jane di gunung. Dia berasal dari kalangan hippies. Jane pernah mengalami kecelakaan hingga kehilangan satu kaki dan memakai kaki palsu. Adam merasa penyebab kebingungan gender karena kedekatan dengan ibu, termasuk menjadi suka menjahit. Ada juga tokoh Mark yang malah merasa kurang dekat dengan ayahnya sehingga dia bersikap feminin. Erin dan ayahnya terlalu dekat dan mereka sama-sama suka football sehingga merasa kemaskulinannya tumbuh dari sana. Helen senang dengan suara rekan sesama paduan suara gereja dan pernah mendapatkan pelecehan dari seorang teman lelaki.

Gambar gunung es itu semacam bentuk lain dari pengakuan dosa para remaja yang dianggap sedang diganggu iblis. Selalu iblis yang disalahkan dalam pandangan agama. Padahal, belum tentu iblis mengganggu mereka dengan cara itu.

Setelah Cameron kedapatan sedang keenakan di-blow job sama Coley saat pesta homecoming, oleh Jamie, dalam mobil Jamie, yang dia notabene pacar resmi Cameron, tante dan omnya memutuskan untuk membawa Cameron ke tempat yang dirasa bisa menangani masalah itu. Sementara Coley tidak.

Cameron sekamar dengan Erin. Malam-malam, Cameron sering gelisah sendiri karena sering mimpi mesum dengan Coley. Salah satunya saat mereka sedang nonton Mulholland Dr. Btw, agak janggal sebenarnya karena setting film ini tahun 1993, sementara Mulholland Dr. adalah film produksi tahun 2001. Di film ini ada adegan syur yang lumayan bikin gelisah remaja labil. Karena terhanyut, mereka pun begituanlah. Pernah juga Cameron mimpi berciuman panas dengan gurunya di ruang kelas. Entah dia membuat suara apa, sehingga Erin terbangun dan tanpa ada prolog, kata pengantar, halaman persembahan, daftar isi, catatan kaki, dan lainnya, datang ke tempat tidurnya, membangunkan Cameron dan nge-blow job dengan sukarela. Meski kaget, Cameron sih menikmati saja. Tidak ada kelanjutan setelahnya antara dua orang ini. Sebab, bakal lebih lama berada dalam program itu jika sampai ada yang terlibat cinta sesama jenis. Saya rasa, mereka sebenarnya sudah muak di sana tapi tidak punya pilihan lain.

Mereka tidak akan selamanya berada di sana. Begitu dirasa sudah sembuh, mereka akan kembali ke orang tua masing-masing, atau tidak kembali sementara jika orang tuanya punya kepentingan di luar sana yang khawatir keadaan anaknya membuat karier ambyar. Seperti halnya Mark. Dia seharusnya sudah boleh pulang, tapi orang tuanya sedang mengincar sebuah jabatan politik. Tahu sendiri, orang-orang Southern America yang konservatif kan tidak pernah menyetujui hal-hal beraroma LGBT. Kalau sudah begini, apa tidak makin membuat anak stres?

Saya tidak menyalahkan usaha untuk menekan perkembangan LGBT dengan metode agama. Ada yang berhasil, tapi rasanya terlalu luas varian dari penyebab homoseksualitas itu sendiri. Bagaimana menghilangkan sesuatu yang menjadi bagian dari diri seseorang yang sifatnya tidak fisik? Kalau kanker bisa dikemoterapi atau operasi. Kalau gagal ginjal bisa transplantasi. Kalau itu berasal dari dalam ruangan kasatmata di otak yang belum bisa terjangkau medis, lalu bagaimana? Menghilangkan pemicunya? Bagaimana? Tidak ada yang tahu siapa yang bisa menjadi pemicu. Menjauhkan lelaki dari lelaki tidak akan serta-merta menghilangkan kecenderungannya lalu suka kepada lawan jenis. Itu masalahnya kompleks. Saya rasa dunia psikologi pun belum sepenuhnya bisa memahami secara keseluruhan penanganannya. Masih ada pro dan kontra di antara pakar psikologi. Hitam dan putih masih menjadi warna yang tolak-menolak. Iblis masih selalu jadi kambing hitam. Barangkali Iblis ngebatin: “Bangsat, bukan gara-gara gue! Gue rusak aja sekalian nih anak dah!”

Post a Comment

Previous Post Next Post