Enam belas tahun lalu, sutradara Alice Wu pernah merilis film komedi romantis berjudul Saving Face yang mengangkat kisah asmara seorang dokter bedah dengan penari balet dengan latar lingkungan masyarakat Cina yang tinggal di Amerika Serikat. Salah satu film favorit saya karena ada dua tema di sana, yaitu cinta antara dia perempuan muda kemudian satunya lagi konflik yang disebabkan kehamilan ibu si dokter bedah entah dengan siapa.
Tahun-tahun berlalu, Alice Wu comeback (ini namanya baru beneran
comeback sebab lama sekali dia tidak membuat karya baru untuk penggemarnya)
dengan film masih agak bernuansa LGBT tapi coming age alias untuk remaja.
Saat melihat tokoh Ellie Chu (Leah Lewis) sontak
mengingatkan saya pada tokoh Will (Michelle Krusiec) yang berambut panjang
tapi tomboi. Mengenakan celana jins dan kemeja. Sneakers dan bot. Seakan versi remajanya Will. Dia pun digambarkan cerdas, tidak
punya banyak teman, temannya adalah yang kemudian minta dicomblangin dengan Aster
(Alexxis Lemire). Aster mirip Vivian (Lynn Chen) yang cantik, berasal
dari keluarga kaya, dan modern. Bedanya, Aster ini orang Amerika.
Plot cerita The Half of it jauh lebih sederhana dibandingkan
Saving Face mengingat target penontonnya juga berbeda. Ini tentang Paul, seorang
pemuda di Squahamish yang jatuh cinta kepada teman sekolahnya, yaitu Aster,
tapi dia merasa tidak percaya diri untuk mendekat, bukan karena dirinya hanya
anak penjual taco, tapi dia merasa tidak pintar berkata-kata, merasa kurang
ganteng dibandingkan pacarnya Aster yang juga anggota klub paduan suara sekolah
yang memang charming dan rada bad boy.
Paul minta bantuan Ellie agar membuatkan surat cinta untuk
Aster, mengingat tetangganya ini selalu diandalkan teman-temannya kalau ada
tugas membuat esai. Dan tahu dirinya punya kemampuan menulis, Ellie
mengomersialkan esai garapannya. Lumayan buat nambah-nambah uang jajan.
Awalnya, Ellie menolak diminta membuatkan surat cinta.
Menurut dia, surat cinta sifatnya personal dan harusnya otentik. Tidak kalah penting, surat itu ditujukan untuk Aster, bukan siapa kek gitu.
Karena, Ellie suka dengan Aster. Begitu mudah membaca
ekspresi wajah Ellie setiap kali dia menatap Aster. Aster anggota paduan
suara. Ellie yang memainkan instrumen musik. Mereka sudah saling kenal
sejak lama, tapi tidak pernah saling bicara. Ellie adalah penggemar rahasia
Aster. Tapi, dia tidak punya nyali menyatakan perasaan seperti yang ingin dilakukan
Paul.
Mengingat sedang butuh uang dalam waktu cepat, Ellie akhirnya
mau membuatkan surat cinta. Surat itu langsung dibalas sama Aster. Dibalas lagi sama Ellie.
Dibalas sama Aster. Lalu lanjut via ponsel. Akhirnya, Paul mendapat kesempatan mendekati Aster. Karena Paul bukanlah penulis surat-surat itu, ketika
berhadapan langsung dengan Aster, dia mati gaya. Aster merasa curiga heran, mengapa Paul
berbeda dengan surat-suratnya. Mereka tetap berkencan sambil diawasi Ellie dari
kejauhan. Jaga-jaga kalau kondisi tidak terkendali.
Ellie saat melihat pujaan hatinya berkencan dengan sahabatnya
tidak bisa berbuat apa-apa. Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Berterus terang
bahwa dialah penulis surat itu? Lalu apa? Menyatakan cinta? Lalu Aster malah
menjauh gara-gara itu? Bukanlah itu malahan mimpi buruk? Aster baik kepadanya karena
Aster pada dasarnya adalah gadis yang ramah ke siapa aja. Tidak banyak tingkah. Entah
bagaimana pula dia bisa mendapatkan pacar yang begajulan.
Ellie adalah anak seorang petugas kereta api yang sedang berjuang
untuk mendapatkan pekerjaan di stasiun kereta api. Dia punya gelar akademik dari Cina tapi di Amerika
kan tidak ada apa-apanya. Untuk memperlancar bahasa Inggris dan mengurangi
logat Cina yang kental, ayahnya Ellie selalu menonton film-film lama. Tapi itu
tidak banyak membantu. Seharusnya dia menonton film-film yang lebih kekinian
untuk menyerap bahasa Inggris zaman sekarang.
Beralih ke karakter Paul. Dia seorang pemuda yang
aktif dan paradoks. Di satu sisi, atlet football di sekolah,
di sisi yang lain, dia punya obsesi membuat taco sosis dengan racikan bumbu yang baru.
Setiap hari, dia pergi ke sekolah dengan berlari yang mana sepertinya jarak antara
rumah dia dengan sekolah tidaklah dekat. Ellie saja yang naik sepeda balap,
kesannya lama banget sampai di sekolah yang mendaki jalannya.
Selain saya langsung teringat dengan tokoh-tokoh utama di
Saving Face, saya juga tercengang ketika adegan di gereja, di saat Trig melamar
Aster. Di Saving Face, ibunya Will yang akan menikah lalu diinterupsi oleh lelaki
yang selama ini menjadi misteri. Suasana menjadi ricuh. Orang-orang
mengeluarkan unek-uneknya yang selama ini ditahan-tahan. Saya tetap lebih suka
kericuhan di Saving Face karena itu benar-benar plot twist yang mengejutkan.
Tidak terlupakan dan what the hell banget.
Pesan paling mudah dicerna dari film ini adalah: jangan memaksakan
diri menjadi sok romantis dengan mengirim surat cinta kalau selama ini
kemampuan hanya sebatas mainan emoji di ponsel, sebab orang yang peka, akan
dengan mudah menyadari bahwa yang menulis surat tersebut adalah orang yang
berbeda.
Lagi pula, siapa pula yang zaman sekarang masih berkirim surat cinta?