The Half of It (2020); Gara-gara Surat Cinta untuk Aster


Enam belas tahun lalu, sutradara Alice Wu pernah merilis film komedi romantis berjudul Saving Face yang mengangkat kisah asmara seorang dokter bedah dengan penari balet dengan latar lingkungan masyarakat Cina yang tinggal di Amerika Serikat. Salah satu film favorit saya karena ada dua tema di sana, yaitu cinta antara dia perempuan muda kemudian satunya lagi konflik yang disebabkan kehamilan ibu si dokter bedah entah dengan siapa.

Tahun-tahun berlalu, Alice Wu comeback (ini namanya baru beneran comeback sebab lama sekali dia tidak membuat karya baru untuk penggemarnya) dengan film masih agak bernuansa LGBT tapi coming age alias untuk remaja.

Saat melihat tokoh Ellie Chu (Leah Lewis) sontak mengingatkan saya pada tokoh Will (Michelle Krusiec) yang berambut panjang tapi tomboi. Mengenakan celana jins dan kemeja. Sneakers dan bot. Seakan versi remajanya Will. Dia pun digambarkan cerdas, tidak punya banyak teman, temannya adalah yang kemudian minta dicomblangin dengan Aster (Alexxis Lemire). Aster mirip Vivian (Lynn Chen) yang cantik, berasal dari keluarga kaya, dan modern. Bedanya, Aster ini orang Amerika.

Plot cerita The Half of it jauh lebih sederhana dibandingkan Saving Face mengingat target penontonnya juga berbeda. Ini tentang Paul, seorang pemuda di Squahamish yang jatuh cinta kepada teman sekolahnya, yaitu Aster, tapi dia merasa tidak percaya diri untuk mendekat, bukan karena dirinya hanya anak penjual taco, tapi dia merasa tidak pintar berkata-kata, merasa kurang ganteng dibandingkan pacarnya Aster yang juga anggota klub paduan suara sekolah yang memang charming dan rada bad boy.

Paul minta bantuan Ellie agar membuatkan surat cinta untuk Aster, mengingat tetangganya ini selalu diandalkan teman-temannya kalau ada tugas membuat esai. Dan tahu dirinya punya kemampuan menulis, Ellie mengomersialkan esai garapannya. Lumayan buat nambah-nambah uang jajan.

Awalnya, Ellie menolak diminta membuatkan surat cinta. Menurut dia, surat cinta sifatnya personal dan harusnya otentik. Tidak kalah penting, surat itu ditujukan untuk Aster, bukan siapa kek gitu.

Karena, Ellie suka dengan Aster. Begitu mudah membaca ekspresi wajah Ellie setiap kali dia menatap Aster. Aster anggota paduan suara. Ellie yang memainkan instrumen musik. Mereka sudah saling kenal sejak lama, tapi tidak pernah saling bicara. Ellie adalah penggemar rahasia Aster. Tapi, dia tidak punya nyali menyatakan perasaan seperti yang ingin dilakukan Paul.

Mengingat sedang butuh uang dalam waktu cepat, Ellie akhirnya mau membuatkan surat cinta. Surat itu langsung dibalas sama Aster. Dibalas lagi sama Ellie. Dibalas sama Aster. Lalu lanjut via ponsel. Akhirnya, Paul mendapat kesempatan mendekati Aster. Karena Paul bukanlah penulis surat-surat itu, ketika berhadapan langsung dengan Aster, dia mati gaya. Aster merasa curiga heran, mengapa Paul berbeda dengan surat-suratnya. Mereka tetap berkencan sambil diawasi Ellie dari kejauhan. Jaga-jaga kalau kondisi tidak terkendali.

Ellie saat melihat pujaan hatinya berkencan dengan sahabatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Berterus terang bahwa dialah penulis surat itu? Lalu apa? Menyatakan cinta? Lalu Aster malah menjauh gara-gara itu? Bukanlah itu malahan mimpi buruk? Aster baik kepadanya karena Aster pada dasarnya adalah gadis yang ramah ke siapa aja. Tidak banyak tingkah. Entah bagaimana pula dia bisa mendapatkan pacar yang begajulan.

Ellie adalah anak seorang petugas kereta api yang sedang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan di stasiun kereta api. Dia punya gelar akademik dari Cina tapi di Amerika kan tidak ada apa-apanya. Untuk memperlancar bahasa Inggris dan mengurangi logat Cina yang kental, ayahnya Ellie selalu menonton film-film lama. Tapi itu tidak banyak membantu. Seharusnya dia menonton film-film yang lebih kekinian untuk menyerap bahasa Inggris zaman sekarang.

Beralih ke karakter Paul. Dia seorang pemuda yang aktif dan paradoks. Di satu sisi, atlet football di sekolah, di sisi yang lain, dia punya obsesi membuat taco sosis dengan  racikan bumbu yang baru. Setiap hari, dia pergi ke sekolah dengan berlari yang mana sepertinya jarak antara rumah dia dengan sekolah tidaklah dekat. Ellie saja yang naik sepeda balap, kesannya lama banget sampai di sekolah yang mendaki jalannya.

Selain saya langsung teringat dengan tokoh-tokoh utama di Saving Face, saya juga tercengang ketika adegan di gereja, di saat Trig melamar Aster. Di Saving Face, ibunya Will yang akan menikah lalu diinterupsi oleh lelaki yang selama ini menjadi misteri. Suasana menjadi ricuh. Orang-orang mengeluarkan unek-uneknya yang selama ini ditahan-tahan. Saya tetap lebih suka kericuhan di Saving Face karena itu benar-benar plot twist yang mengejutkan. Tidak terlupakan dan what the hell banget.

Pesan paling mudah dicerna dari film ini adalah: jangan memaksakan diri menjadi sok romantis dengan mengirim surat cinta kalau selama ini kemampuan hanya sebatas mainan emoji di ponsel, sebab orang yang peka, akan dengan mudah menyadari bahwa yang menulis surat tersebut adalah orang yang berbeda.

Lagi pula, siapa pula yang zaman sekarang masih berkirim surat cinta?   

Post a Comment

Previous Post Next Post