Cukup lama dinantikan, ditunda karena Covid-19 menggila, hingga akhirnya diputuskan untuk rilis pada 25 Desember 2020 untuk wilayah Amerika Serikat, hadirnya kembali Gal Gadot dalam kostum Wonder Woman membagi reaksi penonton menjadi dua. Satu, yang terkagum-kagum. Dua, yang merasa kecemerlangan Wonder Woman gagal dipertahankan.
Rating di IMDB membuat saya mengerutkan dahi-sebelum menonton filmnya. 5,6 itu sama dengan rating untuk film sampah atau film indie yang tidak banyak orang senang dengan ceritanya. Padahal film pertama mendapat rating 7,4 (walaupun saya merasa harusnya lebih tinggi dari itu).
Apa yang terjadi? Karena orang belum banyak menonton? Padahal pendapatan di hari perdana tayang dikatakan sangat tinggi. Atau memang ada yang salah dengan film ini? Saya harus nonton. Dan untungnya, file filmnya sangat mudah didapatkan tanpa perlu langganan streaming.
Di film kedua, kostum Wonder Woman sedikit berubah, atau bisa dibilang agak mendekat ke kostum yang dikenal luas, yaitu atasan merah marun, bawahnya rok pendek biru. Senjatanya masih mengandalkan laso dan sesekali menggunakan tiara sebagai bumerang. Lalu pelindung tangan sebagai tameng.
Masih dengan sutradara yang sama, menghadirkan kampanye feminisme yang sama pula. Tidak buruk tapi hanya semakin memperjelas bahwa niatan dari paham kesetaraan kaum perempuan akan gone wrong, bagaimanapun juga. Ketika seorang perempuan yang dinilai “lemah” entah itu karena rasa kurang percaya diri atau memang orang-orang di sekitarnya hanya menerima yang cantik-cantik saja, kemudian bertemu dengan perempuan yang kuat dan memberikan empowerment, hingga keduanya sama-sama kuat, ujung-ujungnya baku hantam untuk menjadi yang terkuat. Mengurangi peran laki-laki dalam kehidupan, tidak membuat dunia ini sempurna. Itu kekacauan baru, Ladies.
Film diawali dengan sebuah event semacam Olimpiade yang mempertemukan perempuan-perempuan jagoan di Themyscira untuk mendapatkan juara pertama dengan melewati berbagai ujian ala Ninja Warrior plus berenang dan berkuda. Diana kecil salah satu pesertanya dengan penonton para perempuan cantik-cantik yang mengagumi mereka. Masih menjadi pertanyaan saya sampai sekarang, apa yang akan dilakukan penduduk pulau ini ketika sange? Mainan Tinder lalu janji ketemuan di pulau lain? Menunggu dewa khilaf turun ke bumi? Atau sikat apa pun yang ada di depan mata?
Diana adalah peserta termuda. Meskipun dia adalah anak penguasa, tapi dalam pertandingan itu dia diberikan aturan yang sama. Tidak boleh curang. Tante sekaligus pelatihnya, Antiope, muncul hanya sebentar. Dia tentu saja tidak ikutan karena pastilah di masa muda, dia sudah menang berkali-kali. Diana didiskualifikasi karena dinilai oleh Antiope melakukan kecurangan, padahal secara faktual itu tidak salah-salah amat. Intinya, Diana hanya tidak ingin kalah dan kebetulan melihat ada peluang untuk bisa tetap menang meskipun kecil. Dia hanya kreatif dan itu dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Ya, kan? Saya di sini membela Diana.
Hanya itu saja sedikit kilas balik dari kampung halaman Diana. Kemudian kembali ke masa kini yaitu tahun 1984. Semua hal yang identik dengan masa tersebut bermunculanlah. Semuanya, mulai gaya berpakaian, gaya rambut punk, orang-orang yang mulai gemar dengan junk food hingga menjadi obesitas, musiknya, kulturnya.
Kemunculan Diana dalam kostum Wonder Woman dipicu oleh terjadinya sebuah perampokan toko perhiasan di sebuah mal. Yang dicuri bukan emas dan berlian, melainkan barang-barang kuno, salah satunya Citrine. Batu ini merupakan kunci dari huru-hara yang terjadi sepanjang film. Barbara adalah salah seorang gemolog atau ahli batuan yang ditugaskan untuk mengidentifikasi barang-barang yang sempat diambil para perampok, atas permintaan FBI. Sedikit gambaran, sosoknya ini yang tadi saya sebut “lemah”, bukan karena kurang cerdas, tapi seolah orang-orang menganggapnya kurang penting. Berbeda dengan sikap orang kepada Diana, perhatian lelaki selalu tertuju kepadanya. Semua orang ramah kepada Diana. Diana populer dan Barbara underdog. Gitu dah.
Citrine punya kemampuan mengabulkan permintaan. Semacam lampu ajaib. Om Jin cuma mampu mengabulkan 3 permintaan. Kalau ini, minta seabrek permintaan plus jodoh pun bisa. Tanpa sengaja, Barbara meminta dirinya seperti Diana.
Saya pikir kan kemudian dia bertukar badan sama Diana, oh ternyata tidak. Oke, baik. Mungkin batunya agak rusak atau memang cara bekerjanya tidak demikian. Memang sejak itu, Barbara bak baru pasang susuk, ketika semua orang jadi ramah ke dia, laki-laki mau menyapa dia. Bukan hanya itu, badannya jadi bagus, kuat angkat beban sampai ratusan kilo, dan larinya kencang bagai kuda.
Batu itu ternyata pesanan Max Lord. Saya seperti familier dengan nama tersebut. Siapa ya? Joker? Bukan. Musuhnya Superman? Bukan? Musuhnya Harlequin? Bukan. Tokoh ini muncul di Supergirl. Tokoh villain kebanyakan yang berasal dari latar belakang tajir melintir dan punya obsesi menguasai dunia. Dia tahu apa faedah dari batu tersebut dan ingin memanfaatkan untuk menguasai dunia. Meskipun di mana-mana ya, yang namanya benda bertuah, jimat, dan apalah itu ketika kita minta sama dia, dikabulkan ada konsekuensi yang juga diminta sebagai bayarannya. Tidak ada yang bisa didapatkan dengan gratis.
Trevor datang lagi, bukan dalam bentuk hantu gentayangan. Solid tapi yah begitulah. Dia menjadi ada karena Diana susah move on. Agak konyol kedengarannya, meskipun banyak kekonyolan lain yang hadir dalam film ini. Semisal, pesawat yang dipakai Diana dan Trevor ke Mesir. Bukan Boeing 747, bukan pesawat jet pribadi. Juga membuat pesawat itu tiba-tiba hilang dari radar. Perlu diketahui, Diana hanya menghilangkan keberadaan pesawat, tidak mengubah pesawat menjadi pesawat canggih. Sebab Trevor masih bisa mengendalikannya. Artinya, itu pesawat lama. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana mungkin Diana dan Trevor bisa masuk Mesir tanpa paspor? Di mana mendaratkan pesawatnya?
Untuk adegan fighting, menurut saya masih jauh lebih bagus film pertama. Mungkin karena ada banyak koreografi yang berulang sehingga orang-orang yang demanding seperti saya contohnya, ingin yang lebih WOW WOW WOW. Dan kostum Asteria yang saya pikir akan fantastis, ternyata sama si Cheetah dengan gampangnya dibuat ambyar. Atau memang si Cheetah yang terlalu buas kali ya.
Adegan favorit saya adalah pertempuran Wonder Woman v Cheetah. Ketimbang adegan kejar-kejaran mobil di Mesir lalu Wonder Woman menyelamatkan dua bocah muslim yang bermain di jalanan. Pertempuran si siluman harimau dengan anak setengah dewa sudah terlihat serunya sejak mereka pertama kali adu kekuatan dalam Gedung Putih. Cheetah bertempur dengan penuh nafsu ingin mengalahkan Wonder Woman ditambah kekhawatiran kekuatannya hilang sewaktu-waktu. Itu sebabnya dia berpihak pada Max Lord.
Sampai film ini berakhir, saya merasa film ini memang kureng. Kureng seru, kureng fighting, too much drama untuk sebuah film superhero.