Setelah nonton Se7en, rasanya tepat banget begitu beralih ke
Capharnaüm (atau Capernaum) yang menampilkan penggambaran teraktual orang-orang
miskin di Timur Tengah yang entah sampai kapan mereka harus berada dalam kondisi
tersebut. Lebanon tidak hanya diuji dengan lilitan kemiskinan penduduknya, tapi
juga menghadapi arus pengungsi dari negara-negara tetangga yang sedang tidak baik-baik
saja, salah satunya Syiria.
Digarap oleh salah satu sutradara Arab favorit saya, Nadine
Labaki, dia juga sebenarnya seorang aktor. Coba deh tonton dua film dia
lainnya, Sukkar banat dan Where Do We Go Now, terutama kalau ingin melihat Arab
dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dibandingkan dengan Capharnaüm, keduanya
jauh lebih ringan. Yang satu ini menempati posisi ke-77 Top Rated Movies versi
IMDB, rating 8,4. Certified Fresh 90% Rotten Tomatoes, Nominasi Best Foreign
Language Film of the Year di Oscar 2019, memenangkan Jury Prize Cannes 2018,
dan masih banyak penghargaan lain yang cukup menjadi bukti betapa penonton film
masih bisa dibuat tersentuh dengan kisah-kisah nan menyayat hati dari anak yang
ditelantarkan orang tua, pernikahan di bawah umur, penyelundupan manusia,
kekerasan, pelecehan, yang terwakili dari bocah 12 tahun bernama Zain dan orang-orang
di sekitarnya. Nadine melakukan riset sangat mendalam ke beberapa titik untuk mendapatkan
penggambarkan dari itu semua dan hasilnya wadidaw memang. Dan Zain si anak
sulung begitu tegar menghadapi hidup yang sedemikian rupa keras dengan usia
yang masih begitu belia.
Namanya Zain. Anak pertama dari entah berapa adik yang dia
punya, usia mereka mungkin hanya selang 1-2 tahun. Tinggal berdesak-desakan
bersama orang tua yang sudah jelas bukan lagi pas-pasan, tapi miskin. Menyewa
sebuah flat sempit tidak layak huni. Induk semangnya adalah orang tua Souad.
Souad ini adalah seorang pemuda berbadan tegap, punya toko kelontong, dan
naksir sama Sahar, adiknya Zain, yang usianya baru 11 tahun. Souad ini sering
nitip makanan buat Sahar lewat Zain, yang juga kerja seharian di tokonya Souad.
Paham kan ya sampai di sini betapa keluarganya Zain sangat bergantung pada
keluarga Souad.
Sebagai kakak yang protektif—walau dia masih kecil—tapi dia
tahu, adiknya tidak boleh dekat-dekat dengan lelaki pedofil itu. Sahar memang
manis, sering juga digoda pemuda-pemuda di jalanan. Sementara Sahar, yang masih
polos dan baru saja merasakan menstruasi, senang-senang saja ada cowok yang memperhatikan
dia. Zain marah sekali ketika suatu kali mendapati Souad datang ke rumah
bersama ayahnya, menemui ayahnya. Dia yang paling pertama murka dan menentang
ayah kandungnya agar jangan mau melepas Sahar ke tangan pemuda kutukupret itu.
Tapi, dia bisa apa sih? Kalau ayahnya sudah melepas anak perempuannya sendiri
agar mengurangi beban keluarga.
Tapi kenapa ente juga nggak KB, bangsat? Ada satu adegan, tidak
eksplisit sih, tapi ketika malam hari, Zain yang tidur dempet-dempetan ama
adik-adiknya di lantai, terbangun karena suara derit ranjang dan desahan orang
tuanya. Tempat tidur dipasangi kelambu, jadi nggak kelihatan lagi ngapain.
Entah main berapa ronde, pokoknya keesokan hari, Zain mengeluh masih mengantuk
karena nggak bisa tidur.
Setelah gagal mencegah orang tuanya menyerahkan Sahar, Zain
pergi dari rumah membawa duka hati. Dengan barang seadanya, uang pas-pasan, dia
naik bus lalu turun di sebuah arena pasar malam. Luntang-lantung mencari
lowongan kerja, tapi orang kan nggak mau mempekerjakan anak kecil, tanpa
dokumen lagi. Lalu dia bertemu seorang perempuan tukang bersih-bersih bernama
Rahil. Dia imigran gelap dari Etiopia, punya anak satu dari hubungan gelap
dengan adalah pokoknya.
Karena kasihan, Rahil pun mengajak Zain pulang, ke rumahnya
yang apa adanya, perkampungan masyarakat missqueen. Di sana, imigran gelap ada
yang hidup dengan identitas palsu. Ada calonya bernama Aspro. Tapi, tetap saja para
imigran gelap tidak leluasa bergerak, karena sewaktu-waktu akan ada razia
petugas. Kalau ketangkap, selesai sudah. Mereka akan masuk penjara, penjara
yang sangat padat, pengap, entah kapan akan dibebaskan.
Demi keamanan Rahil pindah-pindah kerja, tapi nasib sial
menemuinya juga. Ketika ditangkap, satu yang membuatnya sedih adalah anaknya,
Yonas, yang baru usia dua tahun, yang dia tinggalkan hanya bersama seorang
bocah.
Untungnya, Zain karena kerasnya kehidupan, paham bahwa dia
tidak bisa selalu diam dan menunggu. Dia harus bergerak, ditambah lagi Yonas
adalah tanggung jawabnya. Berhubung adiknya segudang, dia cukup tahu cara
menangani anak kecil. Ketika Yonas rewel karena ibunya nggak balik-balik, Zain
mencampur gula dengan es batu. Anak kecil jelas suka dengan yang manis-manis.
Zain padahal sudah membelikan susu tapi Yonas nggak mau minum itu.
Meski kekurangan, Zain tidak jadi pengemis yang minta belas
kasihan orang. Dia memilih lebih baik mencuri atau jualan Tramadol dicampur air
laut ke orang-orang. Di bagian awal film, ada adegan Zain datang ke apotek
untuk membeli Tramadol, yang mana itu hanya boleh didapatkan dengan resep dokter.
Obat ini kemudian digerus sampai halus, dicampur air, lalu baju-baju direndam
ke larutan itu, kemudian dikeringkan. Baju-baju itu lalu diantarkan ke penjara,
ada kerabat Zain ditahan di sana, dibasahi, lalu diperas airnya, jadilah larutan
Tramadol kemudian dijual ke tahanan lain tanpa ketahuan petugas. Wadidaw!
Zain sempat bertemu anak perempuan yang adalah pengungsi
dari Syiria. Karena status sebagai pengungsi, anak perempuan itu mendapatkan
bantuan dari sebuah organisasi. Zain pun bertanya bagaimana caranya agar dia
bisa juga mendapat bantuan itu. Memang ribet. Ditanya-tanya dulu. Cobaan
lagi-lagi datang ketika Zain mendapati rumah Rahil digembok sama penyewanya.
Padahal duit simpanan doski ada di dalam. Zain udah putus asa, hingga mengambil
suatu keputusan, menyerahkan Yonas kepada Aspro yang sedari awal ingin mengambil
anak itu, entah memang ada yang mau diadopsi atau akan dia jual. Sebagai
gantinya, dia bisa dapat kartu identitas palsu dari Aspro.
Masalahnya surat identitas Zain ada di rumah. Dia memutuskan
pulang dan di saat itu juga mendapati kabar duka tentang adiknya. Mengamuk lagi
dia dan diambilnya pisau lalu ke rumah Souad. Mau dibunuhnya kampret tidak tahu
diri itu.
Meski usianya masih muda, hukum tetaplah hukum. Kabar
tentang Zain tidak sampai ke telinga Hotman Paris, makanya dia pun tidak bisa
melawan ketika hakim memutuskan hukuman tahanan. Dia dikurung di penjara
anak-anak. Jangan kira kalau penjara anak itu isinya bocah-bocah seusia Zain,
kalau nggak salah batasnya 17 tahun. Hari-hari saat bebas dan saat dipenjara
ternyata sama suramnya. Cuma kan di penjara dapat makanan gratis. Dan masih
untung juga dia tidak mendapatkan pelecehan dari teman satu selnya.