Poin inti yang sedari awal ingin dimunculkan dalam Murder on the Orient Express, adaptasi dari novel karya Agatha Christie ini adalah keseimbangan. Keseimbangan bisa disimbolkan dari banyak hal, misalnya timbangan, libra, ying-yang, siang malam, baik buruk, benar-salah, lingga-yoni (eh ini termasuk ngga ya?), kanan kiri, sama tinggi, sama lebar, sama sisi, sesama jenis ngga kayaknya ya, dan sebagainya. Hercule Poirot, seorang detektif berkumis panjang dan janggal sekali bentuknya yang mana dia adalah seorang Belgia, si tokoh utama, si detektif andal yang bisa mendapatkan deduksi hanya dari pengamatan hal-hal kecil, di bagian awal sudah diperkenalkan memang memiliki prinsip menyukai sesuatu yang seimbang dari yang bermakna sama. Ditunjukkan ketika dia hendak sarapan dan dia minta telur rebus yang sempurna. Direbus selama empat menit yang diukur menggunakan … jam pasir. Tunggu, gimana? Ya, sepertinya di tahun segitu, dapur hotel itu belum memiliki jam dapur, semacam timer yang dipakai Chef Juna atau Renatta bukan jam yang dipakai Irene dan Dewa Kipas, tentunya. Ngomong-ngomong, apa Yerusalem benar-benar setertinggal itu ya? Telur yang hendak direbus itu diantarkan oleh seorang bocah muslim menggunakan keranjang yang ditutup serbet. Lari-lari entah seberapa jauh. Karena dia memiliki teknik pernapasan yang sangat baik, dia tidak berkeringat dan ngos-ngosan. Mantap ente, coy. Ketika dihidangkan, Poirot bilang, belum. Si bocah pun disuruh mengambil lagi. Padahal kan tadi dia membawa entah berapa butir gitu. Lah yang lainnya ke mana? Udah netas? Lalu ketika telur kembali dihidangkan, posisi duduk Poirot sudah berubah dong, menghadap pintu, udah kayak Sultan Brunei nunggu hidangan koki kerajaan. Dan si anak ikut masuk. Lah ngapa ente ikutan masuk?
Lalu ternyata adegan epik itu hanya untuk memperlihatkan
bahwa ukuran tidak akan pernah sama. Meskipun tidak sama, tapi sempurna. Hah?
Gitu doang, cuk? Dan telur itu pun tidak dimakan sama Poirot. Dia harus pergi
karena ada kasus pencurian relik gereja. Oh film ini settingnya tahun 1934 di
Yerusalem, empat belas tahun sebelum Israel mengumumkan dirinya sebagai sebuah
negara tahun 1948. Yerusalem adalah tanah bagi tiga agama besar Islam, Kristen,
dan Yahudi. Tuhan dengan skenario-Nya membuat ketiganya sama-sama mayoritas
sedari masa lalu dengan adanya bangunan-bangunan suci. Di masa itu, belum ada
peluncuran roket Palestina yang ditangkis iron dome Israel. Inggris masih
memegang kuasa di sana setelah Turki Usmani tumbang satu dekade sebelumnya
karena ya, sudah waktunya tumbang.
Ada sebuah kasus yang berpotensi membuat penganut tiga agama
ini ricuh. Dan memang, membuat keributan dengan pancingan agama sangatlah
mudah. Itu sudah terjadi dari dulu kala. Pokoknya, gimana caranya agar
persatuan masyarakat dihancurkan oleh pihak yang berkuasa. Bayangkan, jika tiga
ini bersatu, Inggris bakal hengkang secara tidak hormat.
Hilangnya sebuah relik di gereja, yang terjadi satu jam setelah
tiga pemuka agama bertemu di sana untuk membicarakan suatu hal di bawah
pengawasan si Kepala Inspektur Polisi, memunculkan pendeta, rabi, dan imam
sebagai tersangka. Saya tidak paham kenapa mereka harus berdiskusi di gereja,
itu pertama. Kedua, kenapa ketiga tersangka ini disidang di depan umum? Ketiga,
relik itu diperkirakan hilang satu jam setelah pertemuan itu. Kenapa si rabi
dan imam jadi tersangka? Emang mereka ada di sana? Yang paling mencurigakan
seharusnya pendeta dan orang-orang yang berada di gereja, kan? Relik yang
dicuri itu pun berada di tempat yang tinggi dan orang yang seharusnya paling tahu
betapa berharganya relik itu, adalah si pendeta. Si imam dan rabi mana ada
waktu memperhatikan detail demi detail?
Akhirnya, karena Poirot memang cerdas, pelakunya pun tertangkap.
Itu pun dengan cara yang epik pula. Poirot pun menuju Istanbul. Di sana, dia yang
tujuannya menikmati makanan enak dan suasana kota, harus pulang setelah
mendapat telegram sebuah kasus. Berkat kebaikan Bouc, pemuda yang menjabat
sebagai Direktur Operasional The Simplon Orient Express, dia mendapatkan satu
kamar di kabin kereta yang sebenarnya sudah penuh. Dahulu belum ada Turkish
Airline atau Lufthansa, jadi naik kereta ekspres rute jarak jauh, dari tepian
Benua Asia menuju Benua Eropa. Menyeberangi begitu banyak negara. Saat itu
musim dingin. Di Istanbul memang tidak ada salju, tapi ketika memasuki wilayah
Eropa, hamparan putih dan hujan salju mulai terlihat. Ini keren sih, walaupun
hanya CGI.
Kereta itu katanya penuh, walaupun penumpang yang terlihat
sepanjang film ini hanya segelintir. Sisanya tak kasatmata. Hanya segelintir
orang inilah yang memang perlu masuk frame. Mereka inilah yang akan terlibat
dalam sebuah kasus … pem-bu-nu-h-an, kok ada suara mendesahnya ya?
Oh ya, sedikit intermeso. Saya menonton film ini setelah menonton
serial Detective Conan terlebih dahulu. Memang jelas terinspirasi dari sana, ada
yang terbunuh dalam kereta api yang didesain mewah, tapi lain-lainnya berbeda
bahkan lebih rumit karena banyak tokoh yang memakai topeng sintesis. Orient
Express boleh saya bilang tidak membutuhkan terlalu banyak kerumitan. Simpel
tapi tidak tertebak. Karena yang tahu jawabannya, hanya Poirot dan Tuhan.
Kembali ke Poirot yang berada dalam kereta api berbahan
bakar batu bara Orient Express. Selain dirinya, ada penumpang-penumpang lain
yang nantinya akan terkait dengan kasus pembunuhan. Harap ingat baik-baik wajah
dan nama mereka, dan posisi kamar mereka, sebab itu nanti menentukan
dugaan-dugaan penonton.
Ada tokoh bernama Edward Ratchett (Johnny Depp), seorang
pedagang barang antik yang menaiki kereta itu bersama pegawainya, yaitu
Masterman dan MacQueen. Kalau mengira pembunuhnya adalah Ratchett karena
mukanya cocok untuk seorang pembunuh, ente salah. Karena dialah target
pembunuhannya. Sebelum ditemukan tewas ditikam berkali-kali, Ratchett pernah
ingin menyewa jasa Poirot agar menyelidiki siapa pengirim surat-surat kaleng
berisi pembunuhan atas dirinya. Secara mengejutkan, Poirot menolak, walaupun Ratchett
menawarkan uang terbilang besar saat itu. Poirot yang acap kali bersinggungan
dengan para penjahat, seakan bisa mengendus aroma busuk dari orang itu.
Ada juga di dalam kereta itu sepasang bangsawan Andrenyi. Si
suami adalah orang yang ringan tangan alias mudah gebukin orang kalau tidak
suka, tapi di sisi lain, dia protektif banget sama istrinya. Mereka ini tidak
banyak bicara. Seakan sengaja menarik diri dari tatapan orang-orang.
Ada pula misionaris Pilar Estravados (Penélope Cruz).
Ngomong-ngomong, di film ini tidak banyak aktor yang saya tahu. Karena dia
misionaris, dia tidak minum alkohol dan apa-apa dikaitkan Tuhan. Kok saya jadi
ingat Aldi Taher yang dijadikan sumber konten olok-olokan para Youtuber
sekarang ini ya?
Ada pula Dokter Arbuthnot yang berkulit hitam dan Mary
Debenham yang berkulit putih, yang Poirot menduga di antara mereka ada sebuah
hubungan tapi keduanya berusaha menutup-nutupi. Kehadiran dokter di sebuah adegan
pembunuhan atau kecelakaan dalam sarana transportasi seperti sebuah keniscayaan.
Ada saja penumpang yang berkaitan dengan dunia medis dan tiba-tiba menjadi
sosok penolong orang yang membutuhkan.
Selanjutnya ada tokoh Biniamino Marquez. Setelah terjadinya
pembunuhan, Dokter Arbuthnot dan Marquez adalah yang langsung dicurigai para
penumpang sebagai pembunuh, hanya karena Dokter Arbuthnot berkulit hitam, dan Marquez
adalah ras Latin yang orang-orangnya dinilai dekat dengan tindak kejahatan.
Untuk saja Poirot tidak punya prasangka cupu macam itu.
Ada juga Caroline Hubbard (Michelle Pfeiffer). Ini adalah
tokoh yang sedari awal seperti sengaja beramah-ramah dengan Poirot. Tipikal
janda genit yang sedang berburu pasangan baru. Poirot tidak begitu
menanggapinya. Soalnya Poirot mencintai Katherine yang fotonya dia bawa ke
mana-mana. Foto dan sekalian bingkainya.
Kemudian ada tokoh Putri Dragomiroff dan pembantunya
Hildegarde Schmidt. Mereka berdua juga terkesan tidak ingin berinteraksi dengan
penumpang lain. Seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
Terakhir, semoga tidak ada yang terlewat, Gerhard Hardman (Willem
Dafoe). Seorang profesor yang ada kepentingan menghadiri acara di Turin.
Poirot sekamar dengan MacQueen di kabin nomor 3, yang dia
bilang tidak beruntung. Di luar negeri sana, memang ada mitos soal angka 3,
cari sendiri saja infonya.
Di dalam kabin itu memungkinkan mereka untuk duduk dan
tidur. Namanya juga kereta mevvah. Makanannya diantar ke kamar. Minumannya
wine. Dan saya baru tahu bahwa rosé itu berarti anggur merah campur anggur putih.
Konon beda rasanya dengan sirup anggur yang dicampur air putih. Dan konon pula,
cap Orang Tua tidak memproduksi anggur putih. Yang saya ingin tahu, di mana
letak kamar mandinya? Apakah mereka tidak mandi sama sekali?
Di malam harinya, kereta itu mengalami musibah tertimpa
longsoran salju dari atas gunung sehingga bagian depannya tergelincir keluar
dari rel. Posisinya agak seram karena pas di tepi jurang. Pihak kereta menunggu
bantuan. Tidak ada yang bisa dilakukan para penumpang. Mereka harus menunggu.
Dan, ternyata, Poirot mendapati Ratchett sudah mati terbunuh di kamarnya.
Ditikam secara brutal. Tentu saja tidak ada orang yang kemudian mengaku sebagai
pembunuhnya. Mereka malah saling melemparkan kecurigaan. Dan Bouc adalah orang
pertama yang langsung dikeluarkan dari daftar tersangka oleh Poirot karena
tidak berada di gerbong itu.
Saya tentu tidak akan mengulas lebih jauh proses investigasi
Poirot. Yang pasti, pembunuh itu bukan orang random yang tiba-tiba naik ke
kereta, memilih salah satu penumpang yang jelas-jelas tidak sendirian dalam
kabin, membunuhnya, lalu turun dari kereta dengan kecepatan 80 km/jam. Cara
pembunuhan itu semakin tidak mungkin dilakukan di kereta Shinkansen yang
kecepatannya 240–320 km/jam.
Seperti juga Holmes dan Marlowe, detail-detail yang
ditemukan selama investigasi, disimpan sendiri oleh si detektif, pada bagian
akhir barulah dikeluarkan semua. Tapi, jika cermat, terlebih terbiasa mengikuti
cerita-cerita detektif, bahkan dari pengucapan satu kata saja, bisa menjadi
petunjuk. Walaupun hanya satu kelopak bunga, serobekan kertas, sejumput abu
rokok, jejak kaki, ingat itu baik-baik. Sebab itu tidak akan disorot jika tidak
ada fungsinya.
Karakter Hercule Poirot diperankan sendiri oleh si sutradara Kenneth Branagh. Dia juga akan kembali memerankan tokoh ini di film Death on the Nile bareng Gal Gadot, Armie Hammer, Tom Bateman, dan Annette Bening. Ini karya adaptasi ketiga dari novel Agatha Christie yang pernah saya tonton setelah Crooked House (2017) dan miniseri And Then There Were None (2015).