Seperti halnya Mare of Easttown, serial ini juga saya ulas ringan ketika baru tiga episode yang rilis. Kelanjutannya juga sama-sama bikin penasaran. Perbedaannya, The Mosquito Coast merupakan serial petualangan menyeberangi negara adidaya Amerika Serikat dari jalur darat yang ilegal menuju negara yang geng kartelnya terkenal senang membunuh orang, Mexico. Merupakan adaptasi novel karangan Paul Theroux alias paman aktor Justin Theroux yang juga didapuk menjadi pemeran utama. Sebelum sampai ke serial yang tayang di Apple TV+—tentu saja saya tidak menonton dari situ—The Mosquito Coast sudah pernah diadaptasi ke layar lebar dengan pemain Harrison Ford, Helen Mirren, dan River Phoenix—sebagaimana yang diinfokan IMDB—pada tahun 1984. Di versi yang terbaru, agar lebih seru, keluarga Fox berstatus dikejar-kejar pihak kepolisian.
Tentu polisi perlu punya alasan terus-menerus mengintai
keluarga yang terdiri dari si kepala keluarga, Allie; istrinya Margot; dan
kedua anak yang beranjak remaja Dina dan Charlie. Tapi, jangan harap bahwa kita
sedari awal tahu dengan pasti, apa yang dilakukan keluarga dari Ohio ini hingga
selama sembilan tahun berpindah-pindah tempat, hingga terakhir ke Arizona,
sebelum minggat lagi ke Mexico. Anak-anak Allie dan Margot menduga ayah mereka
adalah seorang kriminal atau pernah membunuh orang, tapi sang ibu menyangkal
itu. Penonton juga menebak-nebak, mungkin Allie dan Margot ini pasangan
perampok bank karena untuk membobol brankas penyimpanan uang, Allie punya alat
lengkap. Tapi, anehnya, mereka tidak hidup bergelimang harta. Beda dengan para
koruptor, maling juga, lalu hidup mewah dengan uang rakyat. Bisa juga Allie
adalah mantan anggota FBI, tapi tidak pernah diperlihatkan orang ini punya senjata
atau gudang senjata rahasia. Maka, bersabarlah sampai jawaban itu tiba.
Selama hidup dalam persembunyian, Dina dan Charlie tidak
bersekolah, tidak bersentuhan dengan teknologi, hanya membaca buku hingga bisa
dibilang rada kudet. Dina sempat punya ponsel tapi itu pun diam-diam kalau mau
digunakan. Ketika ketahuan oleh Allie, langsung dihancurkan. Tapi sepertinya
itu agak terlambat karena ada sepasang agen NSA yang sudah mengintai mereka dan
siap menghubungi kepolisian kapan pun juga. Melihat kondisi sudah tidak aman,
Allie memutuskan bahwa mereka harus capcuz dari rumah mereka yang sangat
terpencil dan tidak ada listriknya.
Dalam usaha itu, Dina sempat berulah dengan mau kabur.
Sehingga Allie menyuruh Margot dan Charlie pergi dengan mobil satunya sementara
dia mencari Dina. Dina sebagai remaja yang pergaulannya terbatasi dan mewarisi
jiwa pemberontak dari sang ayah, sepertinya ingin punya jalan hidup sendiri. Charlie
berhasil mencegah Dina kabur dengan bus yang satu-satunya tujuan adalah rumah orang
tua Margot di Ohio. Agak jadi tanda tanya juga ketika penonton melihat adegan
saat Margot mencuri-curi menelepon ibunya. Tidak seperti sikap orang tua yang
mencemaskan anaknya, dia menerima telepon dengan tenang. Ini menguatkan dugaan,
anak menantunya bukan pergi karena tindakan kriminal.
Tim Allie dan tim Margot akhirnya bertemu kembali dan
melanjutkan perjalanan menuju Mexico. Mereka sedari awal ingin memakai jalur ilegal,
saya rasa mungkin sama dengan jalur yang dilewati Sarah Connor, Grace, dan Dani
sewaktu menghindari kejaran Rev-9 di Terminator: Dark Fate.
Perbatasan Amerika serikat dan Mexico terkenal dengan
penjagaan yang ketat. Polisi perbatasan tidak ragu untuk melumpuhkan para
penyusup. Meskipun tetap saja ada orang-orang yang berhasil menaklukkan
tantangan itu. Selain polisi perbatasan yang ganas, kondisi alam yang berupa
gurun luas nan panas dan banyaknya hewan liar berbahaya, menjadi orang harus
punya tekad kuat untuk berpindah negara. Di salah satu episode, ada ular derik
yang tahu sendiri termasuk dalam kategori ular berbisa. Jangan lupakan pula
dengan geng kartel yang bersenjata dan tidak ragu menembak orang asing
mencurigakan. Selama perjalanan yang dipandu oleh Hector, seorang pemuda Mexico,
mereka membelah gurun, sesekali menemui jasad-jasad manusia entah sudah berapa
lama di sana. Pada awalnya, Hector tidak sendiri. Kawannya tewas tertembak.
Mereka juga harus meninggalkan kendaraan lalu ganti berjalan kaki dan menghemat
air sebisa mungkin. Tidak jelas bagaimana mereka makan maupun boker. Membuat
api unggun sangat berisiko ketahuan musuh.
Di episode pertama, penonton tidak banyak tahu mengenai latar belakang Allie. Dia itu kenapa sebenarnya? Ada masalah dengan siapa. Di episode kedua, sedikit demi sedikit, penonton diberi tahu bahwa ini adalah bentuk protes Allie terhadap sistem yang berlaku saat ini. Bagaimana orang-orang yang dianggap tidak konsumtif karena miskin, kemudian dibuang begitu saja oleh pemerintah. Mereka hidup sebagai tuna wisma dan menempati gedung-gedung kosong. Itu dikatakannya ketika Allie dan Dina sedang bersembunyi dari polisi. Allie memperlihatkan sikap antikapitalisme dengan tidak perlu menjadi teroris yang menakuti-nakuti waga. Buat apa juga? Memangnya mereka pemilik modal? Produsen terus-menerus mengeluarkan produk yang tidak tahan lama agar konsumen terus membeli dan membeli. Mereka menciptakan sampah masa depan.
Saya menyukai bagaimana kedua anak-anak Fox berdamai dengan kondisi yang tengah mereka hadapi. Mereka tahu harus saling melindungi bagaimanapun caranya. Kalaupun Dina sempat mencoba kabur, di saat dia menyelamatkan Allie dari polisi, itu seperti sebuah permintaan maaf yang tidak perlu dikatakan. Mereka sudah terlatih untuk meninggalkan rumah kapan saja jika keadaan darurat. Tanpa kepanikan berlebih. Charlie sebagai anak laki-laki—berusaha mengimbangi sikap tenang sang ayah. Margot, sebagai ibu, tahu kapan harus berdiri diam di tempat dan kapan melangkah maju dan berdiskusi dengan sang suami. Allie di sini lebih terlihat sebagai pemimpin tanpa harus menjadi diktator. Dia memikirkan segala kemungkinan. Di samping, dia menikmati petualangan ini juga.