Jauh sebelum era musik Kpop menguasai hati sepertiga populasi generasi muda dunia, sesekali diwarnai pertarungan sengit penggemar BTS dan NCT entah dalam hal apa juga, mari mundur agak jauh ke tahun 1999. Di tahun itulah saya merasakan gejolak yang dirasakan anak-anak muda zaman sekarang, punya idola, merasa idolanya lebih keren dari artis lainnya. Dan ada satu template yang tidak berubah, akan selalu ada kubu yang muncul dan sama-sama kuat pendukungnya.
Tahun 1999,
setahun setelah rezim Orba tumbang, di Amerika yang tidak terdampak panasnya
konflik di Indonesia, tiba-tiba memperkenalkan salah satu penyanyi remaja yang
bersuara seperti … saya sulit
menggambarkan secara detail … anak-anak atau semacam itulah, melalui MTV, melalui
sebuah video klip berjudul Baby One More Time. Lagu yang saya tidak terlalu
ambil pusing liriknya apa, yang pasti, penyanyinya adalah seorang remaja seusia
kakak saya yang nomor tiga, berkulit gelap, rambut dikepang dua ala Siti
Nurbaya, menyanyi sambil menarik bersama mengenakan seragam sekolah swasta.
Lagunya pop, musiknya ala Backstreet Boys. Britney Spears.
Tidak lama
setelah dia muncul, Christina Aguilera pun merilis Genie in the Bottle dengan
klip yang bukan ala sekolahan, agak dewasa. Mereka berdua hanya berbeda
setahun, tapi sedari awal, Christina Aguilera sepertinya memang mengincar
penggemar yang dewasa muda. Britney dengan imej polos, Christina dengan imej
agak bitchy. Saya akhirnya lebih suka Christina, di samping suaranya juga lebih
kuat, walaupun soal dance dia nggak seheboh Britney.
Mulai di
masa itu hingga Christina semakin lama semakin menampilkan kesan binal, saya
tetap berada di kubunya dia. Tapi saya tidak menampik bahwa soal cetak-mencetak
lagu hits, Britney jauh lebih unggul. Mulai dari yang beatnya cepat hingga yang
menye-menye, mulai dari yang berseragam sekolah sampai pakai baju transparan,
koreografinya sudah makin panas, Britney itu genius.
Mereka sudah
menikah dan jarang mengeluarkan lagu baru, dan saya semakin tumbuh dewasa dan sibuk
kuliah, dua putri dari kerajaan pop ini sepertinya sudah sadar diri bahwa
pengganti mereka sudah bermunculan dan menawarkan yang lebih segar. Termasuk
persaingan antara mereka berdua, tenggelam dengan perseteruan Taylor Swift dan
Katy Perry. Sebagaimana saya pro dengan yang berambut pirang, saya jelas
pro-Taylor.
Apa kabarnya
Britney? Di mata saya, dia memang sudah tertutupi oleh gemerlap Taylor Swift,
tapi kariernya sebenarnya tidak redup-redup amat kok. Dia tetap merilis album,
dia jadi juri salah satu acara pencarian bakat di Amerika, dia melakukan konser
dunia, dan punya show bergengsi di Las Vegas. Dia pernah menjadi trending di
Twitter untuk sesuatu yang saya tidak paham. Saya baru paham detailnya setelah
menonton sebuah film dokumenter berjudul Britney vs Spears. Sebelumnya saya
menonton ulasan singkat versi Nessie Judge, di chanel Youtube Netflix. Karena
penasaran, saya pun mendownloadnya.
Dokumenter
yang tidak begitu panjang, hanya berdurasi 1 jam 33 menit, tapi juga untuk
merangkum 13 tahun penderitaan seorang pop star yang disebut-sebut sebagai America’s
Sweetheart. Taylor Swift setahu saya tidak bisa mencapai level itu karena haters-nya
segudang, dan buzzer-nya Katy Perry begitu militan.
Di
dokumenter ini, mengambil sudut pandang seorang jurnalis yang pernah membuat
cover story Britney Spears untuk majalah musik Rolling Stone, Jenny Eliscu.
Film ini dibuat oleh Erin Lee Carr. Dengan mengumpulkan begitu banyak data dari
banyak sumber yang mana, ada yang bersedia membuka identitasnya, ada pula yang
tidak. Tentu karena tidak semua orang bersedia menanggung risiko besar jika bersuara,
sementara di pihak seberang ada sejumlah pengacara powerful yang pasang badan.
Mungkin itulah yang menjadi alasan Britney perlu waktu sangat panjang untuk
mendapatkan kembali haknya sebagai manusia setelah direnggut paksa oleh sang
ayah dan tim penasihat hukumnya plus manusia haus uang.
Awal bencana
besar ini terpicu dari kasus perceraian Britney dan Kevin Federline yang alot
tahun 2007. Pihak Kevin menginginkan hak asuh atas dua anak hasil pernikahan
pasangan tersebut. Karena stres dan juga konsumsi obat-obatan penenang, kayak
semacam menjadi kendala bagi Britney untuk memenangkan persidangan. Dia pun
mengalami masa kegelapan, di mana dia sering melakukan pelanggaran, semacam berkendara
dengan kecepatan tinggi, berperilaku buruk kepada paparazzi, kurang lebih sama
dengan kelakuan Justin Bieber ketika tengah naik daun.
Mungkin
awalnya sang ayah cemas dengan kelakuan Britney, tapi mungkin niat itu menjadi
tidak murni sebatas perhatian seorang ayah kepada putrinya, namun berkembang
menjadi tamak dan mata duitan. Bagaimanapun juga, Britney adalah penyanyi
produktif yang penghasilannya jutaan dolar dari banyak sumber. Inilah yang
membuat ayahnya gelap mata dan memanfaatkan sisi rapuh anaknya dengan
mengajukan conservatorship. Istilah ini belum masuk dalam KBBI, mungkin karena
juga istilah ini tidak berlaku di Indonesia. Ini semacam kesepakatan hukum yang
dibuat seseorang kepada orang lain yang dianggap tidak mampu—kasarnya—mengurus diri
sendiri. Atau karena ada alasan medis. Britney—entah bagaimana awal mulanya—didiagnosis
mengidap demensia.
Berhenti di
sini dulu. Tarik napas. Buang.
Okelah,
demensia memang bukan melulu penyakit orang tua. Tapi, halo, Britney juga bukan
tiba-tiba menjadi seseorang yang kadang bisa pikun mendadak. Ingat, dia masih
aktif di dunia musik, membuat lagu, konser, merancang koreografinya sendiri. Demensia
dari mana kalau gitu? Ini yang dipertanyakan oleh Jenny Eliscu yang pernah
mewawancarai Britney. Dia terlihat secara fisik sangat sehat. Hanya saja
tatapannya kosong.
Saya rasa,
manusia yang secara fisik dan mental, kalau semua hak dan kebebasannya dicabut
secara sepihak, pasti akan tertekan juga. Sepanjang film ini, ada beberapa
sumber yang menceritakan betapa dibatasinya komunikasi Britney dengan siapa
pun. Dia punya pacar, katakanlah, tapi dia tidak boleh bebas. Semua harus atas
izin ayahnya. Mau ketemu anak harus izin, mau kencan harus izin, mau ngobrol
sama teman selalu disadap, mau belanja tapi uang yang dia pegang tidak ada 1%
dari hasil yang dia dapat dari kerja keras.
Britney juga kesulitan membebaskan dirinya dari penjara buatan karena dia sama sekali tidak punya hal untuk memilih pengacara. Dia hanya bisa mengekspresikan jiwanya yang tersiksa dan selalu ditutupi senyuman itu melalui lirik lagu atau video yang dia posting di Instagram. Miris dan untungnya dia tetap kuat untuk tidak sampai bunuh diri. Tagar #FreeBritney adalah salah satu bentuk dukungan para penggemarnya yang terus-menerus menguat sampai pada akhirnya di bulan September 2021, pihak pengadilan membatalkan status conservatorship dari diri Britney dan juga mencabut status conservator yang dipegang oleh beberapa orang, termasuk ayah Britney. Ini kalau ditelusuri memang perkara uang. Britney dianggap sebagai tambang emas yang dikira bisa dikeruk terus-menerus. Tapi, dia sesungguhnya adalah manusia yang berhak bebas dan menentukan sendiri jalan hidupnya.