Sambil menunggu pergantian tahun 2022—yang masih 4 jam lagi—saat kalimat ini saya tulis, bolehlah sedikit mengobrol seputar dunia penerbitan. Ya, walaupun hari gini, yang suka menulis itu semakin sedikit dengan semakin besarnya godaan berkarier lewat platform digital dengan konten-konten video berdurasi singkat. Platform digital untuk menulis masih ada, tapi berapa banyak sih yang bermain di sana?
Menulis itu sudah seperti jadi kegiatan generasi lama, dilakukan
benar-benar karena faktor senang, bukan uang. Kalau tidak dilakukan, rasanya
sayang. Generasi baru, berapa banyak yang mau menulis? Yang kelahiran sekitar
tahun 2000-an ada yang baca tulisan ini karena punya keinginan menerbitkan
naskahnya menjadi buku? Wow, saya sangat terkesan. Sewaktu saya di usia 20-an, teman
saya yang intens menulis juga sedikit.
Bisa dibilang, yang senang menulis memang orang-orang
pilihan. Mungkin juga punya kelebihan dan bakat lain yang menonjol, tapi tidak
membuat menulis jadi ditinggalkan. Atau, menulis karena … dengan itu kita bisa
menjadi orang lain.
Menjadi orang lain. Sedikit intermeso, tadi pagi saya baru
saja menyimak podcast/siniar Deddy Issues di NOICE yang membahas tentang
pentingnya alter ego (AE). Si AE yang mana itu sebenarnya diri kita
dengan persona lain, berbeda dari kita di keseharian. Semua orang punya
itu, disadari atau tidak. Dan alter ego bisa kita bentuk dengan meniru orang
lain yang kita anggap jauh lebih baik dari kita, tentu dengan memilah versi
baiknya. Sehingga dengan begitu, kita punya pencapaian dalam hidup. Itu yang
akan kita tampilkan di hadapan orang-orang, untuk membuat orang lain terkesan—mungkin—seperti
halnya seorang penulis.
Penulis itu tidak lebih dari manusia medioker seperti
kebanyakan orang. Tapi dia menjadi berbeda dengan tulisannya. Apa pun itu yang
dia tulis, novel kek, puisi kek, buku psikologi kek, dan sebagainya. Tidak ada
bedanya dengan aktor, penyanyi, MC, penyiar radio, guru, dan sebagainya. Ketika
sudah memutuskan untuk memiliki alter ego dari jalur menulis, maka susuri jalur
itu sebagaimana orang-orang lain melakukannya.
Buku yang benar-benar saya tulis dari nol, hanya ada 1,
novel saya, Pustamera. Tapi terbitnya novel itu, perjuangannya hanya pada
proses penulisan, terbitnya tidak. Novel itu terbit di tempat saya berkantor
hampir 14 tahun lamanya. Novel itu tidak perlu diseleksi dan menunggu waktu
tunggu terbit yang sangat panjang—hanya agak terhambat karena itu pas dimulainya pandemi Covid-19. Jadi, karena saya orang dalam, prosesnya berbeda dari
pengalaman orang luar yang mengirimkan naskah.
Saya akan menuliskan beberapa poin yang sering saya temui
pada naskah yang dikirimkan ke redaksi DIVA Press, yang mana itu membuat sebuah
naskah harus ditolak. Jadi, kalau naskah fiksi kamu pernah ditolak, sayalah yang
memutuskan itu. Kadang, ada yang bertanya kenapa ditolak. Saya harus jawab apa?
Yang sejujurnya? Harus saya jelaskan secara detail ke setiap pengirim di dalam
pemberitahuan itu? Tidak, itu butuh waktu sangat banyak. Kan lebih baik jawaban
diplomatis, belum sesuai dengan yang dicari penerbit. Selesai. Menurut saya.
Ini saya bagi menjadi tulisan 2 bagian. Setidaknya, saya punya 1 tabungan tulisan dan punya kewajiban memenuhinya sesegera mungkin. Untuk bagian pertama, saya akan cenderung membahas dari sisi format dan teknis, tanpa menyinggung isi. Lebih kepada kesan pertama yang saya lihat dari sebuah naskah. Naskah itu perlu saya baca atau cukup saya lihat sekilas. Berapa banyak naskah yang hanya saya lihat sekilas?
Banyak.
Gini deh, ibaratnya, bikin
makanan, kamu sudah menyediakan bahannya, tapi kamu membuatnya
sesuka kamu, sampai makanan itu jadi. Lalu kamu hidangkan di hadapan orang. Orang itu
dari hanya melihat saja tahu, itu nggak layak dimakan. Sebab, orang itu bukan sekali
dua kali melihat makanan hancur seperti itu dan tidak mau membuang waktu
mencicipinya.
Well, poin pertama berhubungan dengan kemasan. Bagaimana
mengemas naskah supaya tidak sekadar dilihat sekilas? KETIK YANG RAPI. Belajarlah
mengetik rapi. Cari tutorial di Youtube bagaimana membuat tampilan tulisan enak dilihat. Saya rasa perkara mengetik sudah diajarkan di
sekolah. Kalau tidak bisa mengetik, minta orang lain mengetikkannya. Saya
nggak tahu apakah sekarang masih ada orang yang menawarkan jasa ketik atau
tidak.
Poin kedua, sesuaikan format naskah dengan yang ditentukan
penerbit. Tolonglah, kalau kamu memang niat ingin menerbitkan naskah, apa
susahnya mencari informasi seputar format naskah dipakai penerbit, yang mana tercantum
di situs web resmi atau akun sosmed. Antara satu penerbit dengan yang lain
ketentuannya berbeda-beda. Tolonglah ente cermati woy. Lihat batas ketebalan
berapa halaman, marginnya berapa, kertasnya ukuran apa, font apa. Kalau tidak
tahu caranya, CARI DI GOOGLE! Semua ada di sana. Kenapa sih harus ada ketentuan
begitu segala? Kenapa nggak editornya aja yang nanti mengubahnya?
Ya supaya sedari awal naskah sudah bisa dinilai pas tidak
dengan kriteria naskah. Itu screening awal. Penerbit akan berpikir seribu kali
kalau ada naskah dengan ketebalan 2.000 halaman sementara yang biasanya cukup
200 halaman. Itu bisa jadi 10 novel woy. Atas dasar apa naskah ente diterima?
Poin ketiga, ibarat kamu ingin memberikan sesuatu kepada
seseorang, kan pastinya tidak cuma dikasihkan langsung, tapi ada sapa-menyapa terlebih
dahulu. Ini lebih kepada etika dan menunjukkan kesantunan ente kepada orang.
Selain berbasa-basi, sampaikan sinopsis naskahnya. Setidaknya bisa merangkum
isi naskah sehingga dari situ bisa terlihat seberapa menarik naskahnya.
Sinopsis tidak sama dengan potongan isi cerita apalagi
kutipan. RINGKASAN SECARA KESELURUHAN. Isi ceritanya itu apa? Bukan pula
RINGKASAN PER BAB. Buat 1 halaman sinopsis. Itu sudah cukup. Orang yang menguasai
karyanya, tahu inti dari karyanya itu apa dan bagaimana menyampaikannya.
Keempat, jauh sebelum tangan kamu mengeklik tombol KIRIM di
email, pelajari dulu kriteria naskah yang biasanya diterbitkan penerbit itu.
Kira-kira naskahmu sesuai tidak? Tidak semua penerbit menerbitkan novel. Ada
yang khusus naskah-naskah nonfiksi, naskah-naskah akademis, dan sebagainya.
Semisal ada 5 penerbit yang menerima novel, lihat produk-produknya, tipe
novelnya sama tidak dengan novelmu. Kalau penerbit itu hanya menyukai novel
sastra, maka jangan berharap NOVEL REMAJA KARYAMU BAKAL DITERIMA. Dan sebaliknya.
Kalau ternyata novelmu tidak ada yang pas dengan penerbit yang ada di tanah air
ini—entah apa pula yang kautulis itu—bisa coba dulu di platform digital. Kalau
netizen menyukainya dan penggemarnya banyak, penerbit akan datang. Itu namanya
jalur khusus. Jadi, selain orang dalam, jalur khusus juga ada.
Poin selanjutnya sudah berhubungan dengan isi, akan saya lanjut di Bagian 2. Sementara, sampai di sini dulu.