Tahun sudah berganti, saya lanjutin lagi bagian 2. Kalau
kamu bertanya-tanya ini sedang bahas apa, coba klik postingan sebelumnya,
mungkin nanti nemu jawabannya. Kalau tidak, mungkin kamu salah klik postingan.
Bukan yang sebelah kanan ya, itu postingan terpopuler di blog ini yang isinya
ulasan film-film dewasa dan paling laku yang cinta sejenis. Yah, selera pasar
tidak bisa bohong kan?
Berhubung sudah janji, meskipun ini tidak akan banyak yang
baca, saya penuhi juga deh. Ini masih seputar tips memperbesar peluang naskah
disukai penerbit. Berdasarkan pengalaman saya yang sudah belasan tahun berada
di redaksi sebuah penerbit. Apakah pengalaman saya lebih dari editor-editor
lainnya?
Belum tentu. Tapi yang mau menulis kan cuma saya. Yang lain
ke mana? Mana aku tahu?
Di bagian 1, saya menjabarkan seputar format naskah. Ini
hanya permukaan. Baru melihat pengemasannya seperti apa. Rapi atau tidak.
Sesuai dengan kemauan penerbit atau tidak.
Pertanyaan: apakah seorang penulis dengan banyak karya dan
dikenal secara luas, ketika mengirimkan naskah pasti rapi?
Tidak juga. Disclaimer, ini sedikit ghibah. Ya memang memang
begitu. Buat apa saya mengatakan sebaliknya sebagaimana orang-orang di luar
sana? Mari blak-blakan aja, bahwa:
Tidak sedikit penulis yang sudah punya banyak karya, punya
penggemar buanyak, setiap dia mengeluarkan karya baru selalu dinanti-nanti
penuh antusias, dan sebagainya, ketika mengirim naskah masih dalam bentuk FILE
TERPISAH-PISAH. Jadi dikirim 1 folder lalu dikompres dalam bentuk .rar atau .zip
lalu dikirim ke email. Lalu saya harus ekstrak, menyusun naskahnya,
menyesuaikan formatnya.
Saya tidak tahu, apakah Sang Penulis Yang Mulia ini memang
tidak tahu cara menggabungkan naskah secara berurutan menggunakan Insert >
Text from File…? Kenapa harus merepotkan orang lain? Apakah Yang Mulia terlalu
sibuk?
Itu hanya satu contoh. Belum lagi yang setiap perpindahan
paragraf, itu di-enter 2 kali. WHY, DEAR MAJESTY? Aturan dari mana sehingga jarak
antarpararaf itu harus saling berjauhan? Apakah mereka sedang terkena konflik
sehingga kalau berdekatan bakal baku hantam? Memang sih itu bisa diperbaiki
dalam sekejap ya (ini buat yang sehari-hari berkutat dengan WORD pasti tahu
caranya), tapi kan sebenarnya Yang Mulia bisa tidak menciptakan kerepotan yang tidak
perlu seperti itu.
Oke, balik lagi ke poin apa aja yang terkait isi naskah yang
perlu diperhatikan dan ini akan membuat editor setidaknya ingin membaca halaman
demi halaman.
Poin pertama, struktur naskah harus terlihat. Saya bahas
nonfiksi dulu deh. Sebab, nonfiksi sangat butuh sistematika yang tegas dan
jelas. Harus ada setidaknya pembagian bab. Tidak juga sekaku skripsi atau malah
ilmiah yang dimulai dari Bab 1 bla bla bla, lalu A bla bla bla, lalu 1 bla bla bla.
Adakalanya, cukup bab aja. Misalnya ketika dijadikan daftar isi, tampilannya
seperti ini:
1 ….. 1
2 ….. 16
3 ….. 35
4 ….. 70
Boleh yang seperti ini, jika memang itu naskah yang tidak
butuh subbab. Atau ada subbab tapi tanpa penomoran resmi. Tidak masalah. Tapi
catat ya, untuk naskah yang kategori sangat ilmiah, ketiadaan penomoran subbab,
itu malah bisa bikin bingung editornya, bahasan ini masuk ke mana? Ini bagaimana?
Kok ini kayaknya nggak pas dengan bahasan sebelumnya?
Struktur juga akan memperlihatkan apakah cara berpikir
penulis runtut atau tidak? Bolak-balik atau tidak? Jadi misal, di bab 1
sudah dibahas, di bab 4 isinya kurang lebih sama dengan bab 1 tadi. Lah buat
apa? Kehabisan bahan?
Untuk yang fiksi bagaimana?
Apakah fiksi boleh sama sekali tanpa bab? Saya tidak akan
membahas naskah kumpulan puisi ya, tapi lebih ke yang satu kesatuan, seperti
novela atau novel.
Di beberapa karya klasik, ada saja yang tidak mencantumkan
judul bab sama sekali. Ada yang bahkan tidak ada perpindahan bab. Menyambung
dari awal sampai akhir. Untuk karya modern, dengan software menulis yang semakin
canggih, diberi penomoran bab itu jauh lebih baik.
Ini juga akan membantu penerbit ketika pengajuan ISBN yang
mengharuskan setiap naskah ada daftar isinya. Apakah boleh nomor saja atau
harus ada judul dengan kata-kata? Keduanya boleh. Sejauh ini, kayaknya belum
ada naskah yang ditolak penerbit cuma perkara penulis hanya mencantumkan nomor pada
bab.
Pasti alasannya bukan itu, tapi mungkin soal saltik. Poin kedua.
Salah tik yang berlebihan. Lagi-lagi, ini saya tekankan kepada penulis baru.
Apakah penulis lama juga ada yang bertebaran typo-nya?
Banyaaaaak! Saya tidak akan menyebut nama, karena bisa saja
ini dianggap pencemaran nama baik. Intinya, ada. Typo yang seperti apa? Apakah
berkaitan dengan penulisan KKBI? Bukan dong. Kalau semacam itu tidak saya
anggap typo. Sebab semua orang juga tahu, KKBI berulang kali direvisi
sehingga kalau tidak selalu mengikuti perkembangan, juga bakal tidak
menyadari ada yang berubah.
Salah tik, saltik. Oh ya, ketik itu bukan kata baku.
Walaupun terdengar lucu ketika dengan kata dasar “tik” lalu kata turunannya
menjadi: ketikan, mengetik, pengetik, pengetikan, tikan. Sementara “ketuk”
adalah kata dasar. Kata turunannya ada: "keletuk", "ketukan", "mengetuk", "mengetukkan", "pengetuk", "terketuk".
Kembali ke typo, contohnya: “menggonggong” ditulis “mengogong”,
“lembar” ditulis “lambar” dan sejenisnya itu. Termasuk juga penulisan nama tokoh
yang salah terus. Jadi kalau dikumpulkan, itu bisa aja Samantha kadang ditulis
Samanta, Shamantha, Shamhantha. Ini penulisnya memang sekadar saltik atau bermasalah dengan ingatan?
Di layar, yang begituan akan terlihat SANGAT JELAS. Ini saya perlihatkan
betapa mudahnya seorang editor mendeteksi saltik di naskah.
Ini hanya satu contoh satu paragraf dengan saltik yang bisa
dihitung dari berapa banyak kata yang bergaris merah. Bayangkan jika setiap
paragraf, kesalahan semacam ini akan ditemukan dan dalam naskah yang
ketebalannya 200 halaman.
Ketimbang membuang banyak energi, kan mending ditolak aja
sekalian. Nggak dikasih kesempatan? Nggak usah. Mari berpikir logis. Buat apa
memperjuangkan sebuah naskah yang oleh penulisnya sendiri tidak diperjuangkan?
Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena naskah ini pasti tidak pernah dibaca
ulang berkali-kali oleh penulisnya sampai saltiknya separah ini.
Kenapa kamu, wahai penulis, begitu tergesa ingin naskah ini
dikirimkan kalau dia belum terlalu siap? Siap itu menyeluruh sifatnya. Dia
nyaman dibaca, dia sesuai apa yang kamu konsepkan, dia mewakili kamu.
Apa memang kamu ingin dicap sembrono oleh editor? Jangan salah,
editor itu adalah manusia bisa yang mudah menilai orang lain. Teman-teman saya
sesama editor banyak dan mulutnya rata-rata LANCIP.
Poin ketiga, penggunaan bahasa Indonesia secara tepat.
Lagi-lagi saya tidak berbicara terkait bagaimana penulisan yang sesuai KKBI
atau tidak. Oh ya, tapi ada satu poin soal KKBI dan amandemen-amandemennya yang
sangat merepotkan itu. Kalau ada pertanyaan, apakah setiap penerbit selalu
menaati KKBI? Jelas tidak. TIDAK BISA dan TIDAK MAU. Tidak bisa karena banyak
kosakata dalam KBBI yang tidak serta-merta bisa dimasukkan ke naskah. Tidak mau
karena aturan dalam KBBI saja banyak perkecualian dan polanya kadang tidak
jelas. Coba cari kata “tak” di KKBI, mau daring atau aplikasi atau buku
fisiknya. Coba perhatikan semua. Bisa menemukan pola penulisan “tak” sebenarnya disambung
kata berikutnya atau dipisah? Kening berkerut? Tidak habis pikir? SAMA.
Saya pribadi, saat proses editing sebuah naskah, biasanya saya mengamati naskah ini sangat mengacu KKBI atau tidak. Kalau iya, parameternya dilihat dari 2 hal:
- Bagaimana dia menulis kata yang banyak diperdebatkan: misal “mempedulikan” atau “memedulikan”. Kalau "memedulikan" berarti penulisnya ikut KBBI
- Bagaimana dia menulis kata dalam bahasa Arab: misal “shalat” atau “salat”. Kalau salat berarti ikut KBBI dan semua akan disesuaikan dengan KBBI.
Kalau ternyata keduanya sama-sama kuat dan tidak konsisten, ini dalam konteks
naskah fiksi, saya akan menyesuaikan dengan KBBI. Tambahan: kecuali puisi, tidak
bisa diperlakukan demikian.
Oh, ya poin ketiga adalah penggunaan bahasa Indonesia secara
tepat. Ini juga menjadi parameter penilaian naskah. Asumsinya, penulis adalah
seorang warga Indonesia. Okelah, mungkin ada yang bahasa pertama bukan bahasa
Indonesia sehingga menulis dalam bahasa Indonesia agak kesulitan, tapi dipaksakan.
Nah, gini lho, bahasa Indonesia memang sangat muda dan kosakatanya sangat
terbatas, jika dibandingkan misalnya dengan bahasa Jawa—jika itu bahasa ibu si
penulis. Artinya, jangan takut untuk melibatkan bahasa lain, jika tidak bisa
menemukannya dalam bahasa Indonesia.
Boleh kok, dalam sebuah naskah ada bahasa selain bahasa
Indonesia. Boleh kok pakai bahasa gaul jika memang diperlukan, baik itu dalam
narasi maupun dialog. Boleh kok, kalau ada tokoh berbicaranya tidak dengan pola
kalimat SPOK. BOLEH. BOLEH.
Tapi perlu diingat, semua hal dalam naskah, itu ada alasan
logisnya. Jangan hanya sekadar, yang penting naskah ini terkesan gaul, jadi 90%
dialognya berbahasa Inggris. Boleh aja, tokohnya memang orang non-WNI, contoh orang
Amerika asli, tapi jangan sampai dong dialog dia menggunakan bahasa Inggris-Jaksel.
Ada banyak trik lain di mana penulis bisa kok membuat dialog dari si tokoh
Amerika ini dalam murni bahasa Indonesia. Jangan pernah mengisi nyawa tokohmu
dengan nyawamu. Gunakan alter ego untuk memisahkan mana penulis mana tokoh.
Terlebih kalau sudah beda gender. Belajar lagilah psikologi.
Referensi baca juga akan memengaruhi cara penulis nantinya
menulis. Bahasa terjemahan berbeda dari bahasa orang Indonesia asli. Ada
beberapa penerjemah yang berusaha mengindonesiakan dialog, tapi bagaimanapun
juga, pembaca mungkin akan merasa kurang nyaman dibandingkan ketika dia sudah
membentuk frame bahwa tokohnya orang satu bangsa dengan dia. Penulis yang
banyak membaca karya terjemahan, mau tidak mau, karyanya nanti pun akan
terbawa-bawa, kalau bukan bahasanya, mungkin pola pikirnya. Apakah ada penulis
yang tidak pernah membaca karya terjemahan? Mungkin ada. Saya cuma belum pernah
bertemu saja.
Poin keempat, sederhana tapi penting. Tanda baca. Saya tahu
sebagian besar orang pernah mengirimkan naskah ke penerbit adalah orang yang pernah
duduk di bangku sekolah, setidaknya sembilan tahun di sekolah. Saya tahu ada sekolahan
yang tidak mengajarkan bahasa Inggris, tapi masak iya sih ada sekolah yang
TIDAK MENGAJARKAN BAHASA INDONESIA? Gunanya ada pelajaran bahasa Indonesia itu
kan bukan buat supaya bisa berbahasa Indonesia, tapi bisa MENULIS DALAM BAHASA
INDONESIA. Ke mana kamu ketika pelajaran itu? Rogo sukmo tha? Saya tidak habis
pikir, bagaimana mungkin ada orang Indonesia tidak sadar betapa pentingnya
tanda baca itu dalam sebuah tulisan. Betapa tidak ada koma membuat tulisan
menjadi sulit dipahami. Betapa tanda titik adalah penentu dialog berhenti atau lanjut. Betapa tanda tanya berarti ada yang harus dijawab.
Yang utama hanya koma, titik, tanda tanya, dan tanda seru. Tanda seru okelah
tidak begitu penting. Tiga aja.
Penulis memang tahu pasti kapan terjeda sejenak dan terjeda
panjang. Tapi kan pembaca mengandalkan tanda baca untuk imajinasi yang sama.
Misal kalimat ini:
Dia berontak menendang-nendang pintu rumah kardus itu lalu
roboh tiba-tiba.
Pertanyaan saya, yang roboh dia atau pintu rumah kardus? Dia
menendang-nendang atau menendang-nendang pintu? Ambigu kan?
Kalau di bahasa Inggris, tanpa perlu tanda koma, pembaca tahu
bagaimana sebenarnya adegan itu. Di bahasa Indonesia, tidak. Saya sering
menemukan kalimat yang sebaiknya diletakkan tanda koma agar maksudnya jelas,
mengurangi kemungkinan ambigu. Itu gunanya perlu membaca berulang kali,
menemukan kesalahan-kesalahan kecil beginian. Kesannya receh, sebenarnya
serius.
Poin kelima, tentukan target pembaca sedari awal. Tidak ada
novel yang bisa dikonsumsi semua umur. Pasti ada batasan usia. Novel anak-anak,
dari bahasanya, konfliknya, alurnya akan berbeda dengan novel dewasa. Orang
dewasa butuh pengalaman yang berbeda dengan kebutuhan anak-anak. Alur novel
anak kalau dibuat terlalu rumit, anak-anak tidak bisa mencerna. Harry Potter
itu novel anak yang dibaca orang dewasa. Iya betul, tapi apa semua anak membaca
Harry Potter sampai 7 jilid? Usia berapa yang bisa membaca sendiri? Tetap harus
yang sudah belajar membaca kan? Kalau tidak, dia memulai dari buku
bergambarnya. Lagi-lagi versi yang sudah disesuaikan.
Novel yang saya tulis targetnya dewasa. Tokohnya semua
dewasa, banyak adegan dewasa, anak kecil pun terlibat hubungan dewasa. Saya
tulis dengan pola kalimat yang panjang-panjang, agar semakin tidak didekati
anak-anak. Semoga tidak disentuh anak-anak. Sebatas itu usaha preventif yang
bisa saya lakukan. Entah dengan penulis lain.
Poin keenam adalah punya gaya penulisan yang unik. Ini jujur
saja opsional. Menemukan hal baru di zaman sekarang itu sulit. Adanya adalah
inovasi dari yang pernah ada sebelumnya. Ini bisa dilakukan dengan membaca
banyak buku sehingga merasa ada yang belum pernah memunculkannya. Saya
tidak berbicara tentang bentuk tulisan karena itu pun sebenarnya inovasi dari
apa yang sudah ada. Misal: AU (alternate universe) yang digemari anak-anak
K-Pop belakangan ini . Secara garis besar, ini cerita karangan seorang
pecinta idol tertentu yang diposting di media sosial. Formatnya sesuai karakter
tweet, isinya sesuka-suka penulisnya. Isinya percakapan chat atau
obrolan WA. Sebelum AU, ada era one shot maupun fan fiction di Wattpad yang
juga digemari mereka-mereka sendiri. Sifatnya komunitas. Penulis di ranah
Wattpad, karena memang dilandasi cinta begitu besar kepada idolanya,
memang akhirnya membuat cerita yang berlebihan, entah istilah itu tepat atau
tidak. Sehingga, mereka tidak begitu sabar bernarasi, dan banyak dialog yang
muncul. Ketika ada AU, semakin tergerus ruang narasinya.
Mereka tidak tahu, imajinasi justru semakin tajam ketika di
narasi. Menurut saya. Itu tidak bisa digantikan dengan emoticon. Show don’t
tell semakin tidak terasah. Padahal story telling kekuatannya ada di narasi.
Dialog tetap harus ada, tapi bukan menggantikan narasi.
Ini yang juga saya rasakan betul ketika membaca artikel-artikel
kiriman untuk Hibernasi yang tayang di Basabasi.co. Sangat sedikit yang berasal dari kalangan millennial.
Bukannya saya menutup kesempatan dari masuknya anak muda, tapi KENAPA KALIAN
TIDAK MAU MENELITI APA-APA SAJA YANG SUDAH DITAYANGKAN?
Misalnya ada yang DM dan tanya, kenapa artikel dia tidak ada
yang dimuat? Saya harus jawab apa? Tidak sesuai standar saya? Ya MEMANG. Apakah
temanya hanya yang itu-itu saja? Nggak juga. Dulu, konten Hibernasi berbeda dari
Esai. Yang tayang di Hibernasi saat ini, saya tahu sebenarnya lebih tepat untuk Esai.
Karena rubrik Esai tidak ada lagi—untuk sementara—entah sampai kapan juga—makanya
saya perluas jangkauannya. Asal mau dibayar 100.000 ya silakan aja. Dulu, Hibernasi
lebih banyak berisi artikel kultur pop, ulasan film pasti selalu ada.
Sekarang, setelah pandemi, entah karena film begitu banyak, yang bagus banyak, orang
juga mulai bikin konten sendiri ketimbang jadi penikmat, semua berubah.
Yang tidak berubah adalah orang-orang yang mencintai
menulis. Pemain lama banyak dan nggak ada tanda-tanda mau pensiun, pemain baru
yang mau ngulik sedikit. Komposisinya masih seperti itu. Kalau mau mengubah
situasi, ayo kembalikan tradisi narasi seperti dulu. Cukup di dunia nyata, kamu
bisa tahan chat berjam-jam, di ranah fiksi, ubah jadi narasi-narasi yang berbobot.
Oke, ini panjang sekali sebenarnya—entah ada yang mau baca
sampai selesai atau tidak—bodo amat lah—dan akan saya tutup. Saya mau nulis
lebih detail tentang Hibernasi, mungkin jadi mungkin tidak, tunggu saja. Kalau
tahun sudah berganti ke 2024 dan belum ada juga, tandanya saya memang malas
menulis topik itu.
Terima kasih sudah membaca. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang menyinggung. Bukan orang Indonesia kalau tidak tersinggung, kan?