Cerita Patah Tulangku - Till the End




Patah tulang itu bukan penderitaan yang dialami manusia yang bisa sembuh dalam kurun waktu hitungan hari, minggu, atau Senin eh bulan maksudnya, tidak seperti halnya pilek, kebeset tepian kertas yang setajam silet. Untuk menyembuhkannya juga nggak bisa selesai dengan nenggak paracetamol dan semacamnya. Patah tulang itu menuntut waktu penyembuhan lebih dari sebulan. Dua bulan, tiga, empat, delapan.  

Delapan bulan? Nggak salah?

First of all, saya disclaimer dulu. Apa yang saya alami ini memang tidak bisa dijadikan patokan bahwa perjalanannya akan sama. Orang lain yang mengalami kasus lebih parah, bisa jadi penyembuhannya lebih singkat.

 

WHATS HAPPENED?

Oke, kejadiannya Sabtu 12 Agustus 2023. Tengah hari. Sepulang nge-gym. Saya nabrak mobil orang ... yang menerobos lampu merah. Saya tidak bisa menghindar lagi ketika motor saya berbelok ke kanan di perempatan SGM Yogya, lalu dari kanan, ada Expander hitam melaju. Alhamdulillah saya yang menabrak bukan ditabrak.Sehingga luka saya tidak parah-parah amat. Seandainya saya yang ditabrak, saya merinding membayangkan apa yang akan terjadi.

Motor saya jatuh, saya ikutan. Mobil itu bagian samping kiri dekat pintu depan penyok. Yang ada di pikiran saya waktu itu adalah saya nggak boleh luka parah, ibu saya mau ke Yogya dan ini akan merusak semua rencana.

Saya dibawa ke RS Hardjo Lukito karena letaknya dekat kost, oleh si pengendara Expander. Saya meringis di dalam mobil sambil memegangi lengan. Belum pernah saya mengalami rasa sakit seperti ini.

Saya dibawa ke UGD, X-ray, dan dinyatakan tangan saya retak. Bukan oleh dokter, tapi oleh si pengendara Expander. Saya masih ingat nama dia dan nama istrinya, tapi saya malas menyebutnya di sini. Si manusia ini menganggap fracture itu retak. Kenyataannya, patah. Dan saya pikir memang begitu.

Dokter jaga waktu itu menyarankan untuk operasi. Karena mereka tidak punya gips. Setelah saya menelepon kakak pertama saya dan dia bilang operasi saja, ya saya pun okelah. Operasi pun tidak bisa langsung karena dokternya nggak ada. Baru bisa hari Senin, 2 hari lagi. Sementara, tangan saya dipasang kayu, 3 potong kayu warna hijau Kerokeropi. Tambah 1 kayu lagi, saya udah mirip Iron Man.

Perlu diketahui, karena ini kasus kecelakaan, tidak bisa ditanggung BPJS keparat yang tiap bulan saya bayar itu. Saya harus dapat surat polisi untuk dapat tanggungan Jasa Raharja, yang mana harus ada surat itu dalam 24 jam.

Si penabrakku bilang dia kan coba mengurus surat polisi. Pergilah dia bersama istrinya selama beberapa jam dan kembali dengan tangan kosong. Katanya surat itu harus diawali dengan sidang, kendaraan kami harus ditahan polisi dulu.

Duh makin ribet, batin saya. Dan si penabrak ini cenderung enggan untuk “oke, no problem, saya akan tanggung semuanya.” Jadi dia bilang, nggak usah operasi saja, nanti dia akan antar kontrol.

Ya udahlah, saya okein aja. Saya nggak tahu harus berdebat apa. Saya diantar pulang menjelang magrib.

Tangan saya bengkak. Sakit tapi pereda sakit dari rumah sakit masih ada di badan. Kakak pertama saya ternyata udah OTW dari Tanjung Pinang. Besok sorenya dia tiba. Kami pun berembuk. Saya bilang, bisa nggak PAZ (Pengobatan Akhir Zaman) menangani ini. Dia pun mengontak kakak kedua saya, mungkin bisa dapat link untuk area Yogya.

Kami diarahkan untuk ke Klinik Yanmu di Karanganyar. Perjalanan sekitar 2 jam naik mobil sewa. Di sana, untuk pertama kalinya saya tahu betapa sakitnya pengobatan patah tulang secara tradisional. Suakit. Sakit buanget. Terapisnya masih muda. Tangan saya diurut-urut gitu. Tanpa panduan hasil rontgen. Saya nggak tahu bagaimana bisa begitu.

Saya terapi sekali di sana, karena kemudian dibawa ke Medan. Mau dicarikan terapis di Medan sambil dirawat sama orang tua.

Lalu dapatlah tabib. Tidak usah saya sebut namanya juga, karena tidak banyak berkontribusi selain berhasil menjual produk minyak urut. Sempat juga di bulan keempat atau November, saya ditangani dukun patah yang selain banyak membual, juga jualan obat.

Saya ceritakan sedikit tentang si pembual ini. Jadi sebenarnya, saya akan dia tangani sebelum si tabib. Tapi waktu itu dia sedang keluar kota selama 2 bulan. Dia ini mutual of mutual friend ibu saya.

Kenapa saya sebut pembual karena selama 1,5 bulan, dia nggak banyak mengubah keadaan. Tangan saya, karena tidak tertangani dengan baik, dia tidak bisa menghadap ke atas. Posisinya seperti orang ngajak salaman. Ada dislokasi yang belum diperbaiki sejak penanganan yang pertama. Ditambah, yang seharusnya saya kontrol kedua kali ke Yanmu, itu tidak saya lakukan.

Sama si pembual ini, sistemnya adalah bayar dulu untuk obat. Jadi ada 2 macam pil, isinya obat herbal. Diminum selama 1 bulan dengan harga 3 juta. Untuk setiap kali datang, tidak ada tarif khusus. Kasih terserah berapa aja. Ibu saya selalu memberi 50 ribu.

Dia berusaha untuk bisa membalikkan telapak tangan saya. Dan sampai sebulan lewat, itu belum terwujudkan. Kami ke sana seminggu sekali. Selama sebulan, dia selalu rajin WA menanyakan bagaimana perkembangan tangan saya. Manis sikapnya. Tapi begitu masa obat berlaku, mulai keliatan watak culasnya. Dia bilang, ini sudah hampir sembuh, tapi harus perpanjang obatnya. Sebab obatnya yang akan membantu saraf-sarafnya lancar kembali. Saya bisa kembali ke Yogya tanpa perlu kusuk (urut) asalkan obatnya diminum. Percaya sekarang kalau saya bilang dia tidak lebih dari seorang pembual? Hanya dengan minum obat maka saya akan sembuh? Sori ye.

Mama bilang, udah stop aja. Dia ini pembohong. Kami pun kembali ke si tabib. Pokoknya dia ini jalan pemungkas. Setelah dari si pembual, tangan saya dirontgen ulang. Mau tahu perkembangannya. Dan dari hasilnya, terlihat bahwa patahnya masih belum selesai, diskolasinya apalagi. Sehingga ketika si tabib melihatnya, dia langsung angkat tangan.

Dia merekomendasikan kami ke dukun patah di Tanjung Morawa. Di awal-awal, si tabib ini pernah mention tentang dukun patah Tanjung Morawa ini, cuma memang belum skenarionya bertemu, ya nggak bertemu.

Jadi, buat yang domisili Medan, bisa ke Dukun Patah Sepadan Tarigan. Silakan cari di Google. Banyak yang berobat inap maupun berobat jalan di sana. Ini pertama kalinya saya ditangani dukun patah Kristen which is Karo yang terkenal dengan kultur mistiknya. Dari jajaran suku Batak dan Mandailing, Karo yang identik dengan dunia spiritual.

Besok setelah si tabib merekomendasikan ke Sepadan, kami naik Grab 40 menit dari Sei Rotan ke Tanjung Morawa. Biaya sekali trip 57 ribu sampai 67  ribu.

Kami ditemui oleh Bang Anto. Badannya besar. Kenapa saya harus menekankan itu, nanti ada korelasinya. Dia melihat hasil rontgen, lalu memegang pergelangan tangan kanan saya yang mata tangannya lebih menonjol dari yang kiri. Bukan cuma megang tapi menekan. Sakitnya kayak bikin kejang.

Dia bilang, ini tidak bisa langsung ditangani. Harus pakai rebung dulu. Harus dimudakan tulangnya. Rebung yang di maksud itu adalah rebung yang diserut dengan dicampur garam dan kapur sirih. Dioles selama 4 hari baru bisa ditangani. Untuk harga ramuan itu 200.000.

Selama 4 hari, entah mengapa saya tidak berminat mencari tahu kira-kira bagaimana nanti yang dislokasi itu akan dikembalikan. Pokoknya saya fokus mengoleskan rebung. Begitu kering, saya oles lagi. Istilah memudakan tulang juga tidak bisa dijawab sama admin ChatGPT.

Empat hari sudah berlalu. Saya dan ibu saya kembali ke sana. Hari senin dan Kamis hari ganti perban di Sepadan. Artinya, semua pasien berobat jalan akan berdatangan mulai pukul 7 pagi sampai 7 malam. Pasien inap pun juga diterapi pada Senin dan Kamis. Begitu info yang saya dapatkan dari pasien berobat jalan yang pernah rawat inap karena kasus lumpuh akibat saraf kejepit.


BAGIAN INI MENGANDUNG ADEGAN SERAM

Hari itu Senin 22 Januari 2024. Kami menempati bangku panjang pasien yang menunggu antrean dikusuk. Sepadan ini ada 4 datunya. Pertama, si Bolang. Dia ketuanya. Rumah itu pun rumah dia. Lalu anak pertama Bolang, saya lupa nanya siapa namanya karena dia hanya mengusuk pasienrawat inap. Ada Bang Anto, menantu si Bolang. Ada Bang Edo, anak keduanya Bolang. Tiga itu yang menangani pasien di atas tikar yang digelar di lantai. Jadi meskipun pasien antrean banyak, tidak menunggu terlalu lama. Di samping masing-masing mereka ada semangkuk minyak warna hijau tua.

Tiba giliran saya. Sebelumnya, kami diminta untuk beli sejumlah perlengkapan di warung depan. Kata kuncinya adalah ”satu paket”. Isinya handuk kecil 3 lembar, Dettol botol kecil, jeriken kosong, sama sebungkus rokok. Ibu saya yang membelikan itu. Sewaktu diceritakan, saya bengong, kok pake rokok segala?

Untuk perban, Sepadan yang menyediakan. 50 ribu kalau nggak salah ibu saya bayar ke Bang Anto. Untuk kayu, mereka pinjamkan selama berobat. Ukurannya bermacam-macam. Sesuai dengan kebutuhan.

Lalu saya disuruh berbaring. Heran juga. Apakah itu pemanasan? Karena perasaan saya nggak enak, saya pun memejamkan mata sambil buang muka ke kiri. Tangan saya ditaruh di lantai. Lalu sekejap kemudian, saya merasa pergelangan tangan ditekan ke tikar dengan begitu kuat. Saya langsung ”Allahu akbar” dong menahan sakit yang mengagetkan itu. Bodo amat di sana banyak orang Kristen. Saya nutupin muka pakai tas. Selain ditekan dengan begitu kuat. Tangan saya juga digerakkan ke atas, tapi nggak sakit. Entah proses itu berapa menit, Bang Anto pun bilang ”sudah selesai”. Tadaa! Tangan pun sudah diperban dengan handuk 3 lapis, dipasang 2 potong kayu sepanjang 30 senti, baru dililit perban cokelat.

Tangan rasanya suakit luar biasa. Saya pun diperiksa tensinya oleh mantri yang ada di sana untuk menghadapi pasien luka-luka terbuka untuk dijahit. Meskipun rasanya campur aduk, rupanya tensi saya normal-normal saja. Saya pun dikasih beberapa obat pereda. Tapi, biar nggak kena mahal, mending beli sendiri aja di apotek.

Obat itu disarankan Bang Anto supaya segera diminum. Tapi karena kami puasa sunnah, meski dia tampak keberatan, akhirnya memberi saya kebebasan untuk memilih apakah mau segera minum obat atau tidak.

Dan karena saya merasa bisa menahan sakit itu, saya memilih menjaga puasa saya. Dan konsekuensinya, saya baru bisa tidur pukul 2 dini hari karena obat pereda sakitnya bekerja lamaaaa sekali. Sakitnya itu seperti ditusuk-tusuk jarum. Tidur dengan posisi gimana pun nggak bisa nyaman.

Alhamdulillah, besoknya sudah membaik. Saya pun dikasih obat pereda oleh ibu saya. Yang reaksinya lebih kuat.

Oh ya, sebelum pulang, kami mengambil jeriken yang tadi sudah diisi 2 botol besar air mineral ditambah sebotol kecil air mineral. Jeriken itu tadi ibu saya taruh ke belakang rumah untuk dicampurkan dengan kapur sirih dan didoakan. Saya tidak tahu doa macam apa. Hanya Bolang yang dan istrinya yang punya otoritas meracik air obat itu.

Air itu harus diminum selama masa pengobatan, tidak boleh putus. Dengan beberapa pantangan berat. Tidak boleh makan makanan yang dipanaskan, tidak boleh menggoreng dengan minyak jelantah, tidak boleh mengandung micin, tidak boleh minum es. Dan itu semua dilanggar saking sulitnya dipatuhi. Tidak ada dampaknya sih.

Lalu ibu saya bilang, bahwa tadi pergelangan saya itu diinjak-injak. Apa? DIINJAK? Pantesan berat banget. Saya kaget luar biasa. Tidak dengan mudah percaya kaki orang sebesar Bang Anto menggeprek tangan. Jadi rupanya memang sesulit itu mengembalikan tulang ke posisi semula.

Sebenarnya tidak akan sedramatis itu seandainya saya tidak ke mana-mana dulu. Intinya, Sebelum ditangani Bang Anto, tangan saya itu istilahnya sudah pulih, sudah mapan posisinya, sudah lengket dengan ototnya meskipun tidak di posisi seharusnya. Makanya, penangannya sangat menyakitkan. Ibu saya bahkan bilang, dia sampai meneteskan air mata melihat adegan injak-injakan itu. Nginjaknya halus sih, tapi lumayan juga sakitnya. Sampai ubun-ubun.


TERAPI RUTIN

Hari Kamis balik lagi. Ketemu Bang Anto lagi. Buka perban dan isi ulang air. Tangan saya merah. Bang Anto pelan-pelan membolak-balik tangan saya sambil mengusuk. Saya lagi-lagi nggak berani melihat. Napas saya tarik dan buang panjang-panjang. Dia bilang, tonjolan mata tangan akan dia coba perbaiki sehingga tidak terlalu berbeda dengan yang kiri. Saya sih tidak masalah kalaupun tidak sama 100%. Buat saya, tangan sudah bisa dibolak-balik adalah karunia Tuhan.

Selama dua setengah bulan, saya sudah pernah ditangani Bolang dan Bang Edo. Tidak harus selalu dengan Bang Anto. Ketika hari buka perban, semisal saya merasa terapi dengan Bang Anto terlalu sakit, tidak masalah saya pindah ke Bolang atau ke Bang Anto. Antara satu pasien dengan pasien lain, punya penilaian berbeda-beda. Ada yang pernah ditangani Bolang berpendapat kalau sakit sekali sehingga sebisa mungkin tidak ditangani dia lagi. Saya sendiri sih merasa kalau sama Bang Edo sakitnya  pol sampe ke ubun-ubun. Soalnya, dia fokus untuk melenturkan pergelangan tangan. Dengan satu teknik tertentu, pergelangan tangan saya bisa dibengkokkan secara maksimal ke atas dan ke bawah. Begitu sampai ke rumah, saya coba sudah nggak bisa lagi. Ajaib memang. Bang Edo juga setelah kedua kayu di tangan saya dibuka, menyuruh saya untuk latihan mengangkat benda yang berat, mulai 5 kilo, minggu depannya 10 kilo. Bahkan, setelah dia terapi pun, ketika tangan saya masih kemerahan dan terasa sakit, dia suruh angkat jeriken air. Memang bisa.

Latihan-latihan yang harus saya kerjakan di rumah, tidak jauh-jauh dari aktivitas sehari=hari, seperti menyapu, menyikat pakaian, dan sebagainya. Awalnya, saya ketar-ketir juga. Masa baru satu bulan sudah boleh digunakan sebebas itu. Dan Bang Edo mengatakan bahwa tulangnya sudah kokoh kembali, tidak akan patah maupun bergeser kembali. Kedua kayu di tangan saya dilepas sebulan setelah digeprek Bang Anto.


TUTUP OBAT

Di pertengahan bulan puasa, saya kembali minta diterapi Bang Anto, sekalian mengajukan untuk tutup obat. Tangan saya sudah dilepas perbannya. Dia pun menghitung hari dan menjabarkan proses tutup obat seperti apa.

Saya pun dijadwalkan tutup obat pada 4 April 2024. Saya diwajibkan untuk makan abon cemani selama 4 hari dengan ketentuan pantangan yang di atas saya tulis. Persis sama. Cuma, dia menekankan kalau kali ini, sudah benar-benar tidak boleh ada pelanggaran. Pelanggaran akan berdampak akan ada sakit yang kambuh di masa mendatang, 10 atau 20 tahun ke depan.

Abon cemani itu mereka yang buat. Pasien tinggal makan. Boleh dicampur dengan makanan lain. Sementara dari pihak pasien, selain membayar uang terapi selama ini, juga memberikan beras, gula, garam kasar, telur ayam kampung, rokok GP, dan korek api. Total biaya pengobatan saya dari awal adalah 3.100.000. Saya tidak tahu bagaimana mereka menghitung sampai dapat angka segitu.

Empat hari pantangan itu ternyata beratnya luar biasa. Terutama soal lauk yang kalau digoreng harus menggunakan minyak baru. Ada lauk yang disendirikan untuk saya. Ada sambal yang beneran fresh. Air yang hanya dimasak sekali. Untung saja bulan puasa. Kesabaran saya kan agak lebih tebal.

Dan, setelah 4 hari, berakhirlah sudah. Lega rasanya. Kalau ditanya apakah tangan saya pulih sempurna, jawabannya tidak. Apakah saya puas dengan hasilnya? Tentu puas. Seperti apa pun tangan saya, ya itu bagian dari tubuh saya, masih berfungsi, masih ada kekuatannya dan semakin saya latih, semakin akan kembali kuat seperti dulu.

 

Yogyakarta, 8 April 2024

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال