Nah Linkin Park tergolong ramah di telinga saya. Walaupun tidak membuat saya pengen tahu juga lirik lagunya tentang apa sih sebenarnya. Nggak ada satu pun lagunya yang saya hafalkan. Musiknya dinamis dan cara mereka memadukan musik berbagai genre itu pas aja, menurut saya. Kalau orang suka One Step Closer, saya sukanya Papercut. Kalau orang sukanya Crawling, saya sukanya Points of Authority. In the End kayaknya semua orang suka karena MV-nya keren. A Place in My Head juga saya suka.
Itu tadi dari album pertama, tiga tahun kemudian, saya sudah mulai nggak terlalu menyimak musik beginian lagi. Tapi setidaknya saya tahulah dari Meteora itu lahirlah Faint, Somewhere I Belong, Breaking the Habit. Kalau Numb, saya suka yang bareng Jay Z. Zaman Jay Z belum keseret kasus P Diddy. Masih jadi raja Hip Hop dia. Masih top notch lah.
Kemudian 2007 keluar lagi tuh album baru, Minutes to Midnight. Itu tahun saya lulus kuliah, umur udah makin banyak, udah waktunya mikir cara cari uang sendiri. Perputaran genre musik yang menguasai dunia juga sudah sangat berubah. Lagu-lagu Rihanna itu merajai di mana-mana. Eranya vokalis perempuan lah bisa dibilang. Kelly Clarkson juga lagi cakep-cakepnya tuh. Joss Stone lagi menggila-menggilanya tuh. Makanya Linkin Park istilahnya udah out of my radar. Saya tahu mereka punya What I’ve Done. Tahu Leave Out All the Rest juga karena jadi OST Twilight.
Di tahun 2010, mereka rilis A Thousand Suns. Di situ ada yang judulnya Waiting for the End. Tapi, lagu ini malah saya tahu saya jadi suka banget ketika dinyanyikan sama Emily Amstrong, vokalis terkini Linkin Park. Saya tidak mau menyebut vokalis pengganti ya, karena fans die hard Linkin Park bisa ngamuk. Pokoknya kata mereka, nggak ada tuh yang bisa menggantikan Chester. Nggak mau terima. Nggak bisa move on. Yeee! Katrok lo! Mike Shinoda mau ngasih makan anaknya pake apa kalau Linkin Park nggak nerusin karier, Malih? Pake makan siang gratis?
Emily bukan modal tampang doang dong tentunya. Pundaknya itu berat bukan karena ketempelan gendoruwo, tapi ada beban untuk mengisi kekosongan di sebuah band besar dengan penggemar fanatik. Ketika dia tampil bersama LP di beberapa negara, mulailah dia beradaptasi. Dia menyanyi sebagai dirinya. Membawakan lebih dari 20 lagu dari album-album LP sebelumnya. Kalau mengikuti dari satu konser ke konser lain, akan melihat bagaimana Emily mulai membiasakan diri dengan lagu-lagu yang punya high intensity. Di konser pertama, yang terbatas itu, ada beberapa YouTuber yang membuat video reaction dan menggarisbawahi beberapa bagian suara dia entah nggak nyampe, atau tiba-tiba crack dan terlambat disadari. Tapi itu wajarlah ya. Dia jam pertunjukannya sama band lamanya juga banyak, tapi tipe musiknya totally different. Dia harus mengisi part suara yang pernah diisi seorang laki-laki. Dia harus menyanyi dan berteriak sambil nyanyi. Itu tidak gampang, hai Arya Saloka. Lah, kenapa Arya Saloka?
Waiting for the End adalah lagu dari album terdahulu Linkin Park yang cocok dengan Emily, di telinga saya. Jadi soft banget meskipun ada nada tingginya juga. Mike juga tahu betul kalau tidak mungkin memaksakan Emily dengan semua lagu di album terdahulu Linkin Park. Jadi yang dibuat adalah totally album baru, bukan remake. Ada 10 lagu, sebelum albumnya rilis, kita sudah tahu akan ada The Emptiness Machine yang bisa dibilang sebagaimana MV-nya sebuah band, Heavy is the Crown yang jadi official song game online League of Legends, Over Each Other yang di MV-nya saya berasumsi ditujukan untuk mengatakan kepada yang belum tahu soal orientasi seksualnya Emily, Casualty, dan Two Faced. MV Two Faced dirilis hanya sehari sebelum From Zero
Ada 10 lagu dengan variasi intensitas yang ditujukan untuk menjangkau
pendengar lebih luas. Saya yakin tiap orang akan menemukan favoritnya sendiri.
Saya suka Over Each Other, Good Things Go, Overflow, Heavy is the Crown, The
Emptiness Machine, Stained, dan IGYEIH. Jangan khawatir, Mike tahu kok soal pasar dan
industri musik, sehingga dia tahu tidak semua lagu dibuat penuh screaming. Dia
sadar betul betapa Emily ini punya range suara yang sangat luas sehingga dia bisa mulai
berbisik, menyanyi merdu, menyanyi dengan nada makin lama makin naik, sampai screaming.
Mike tetap menjaga kekentalan darah LP tanpa bermaksud eksperimental terlalu
aneh-aneh, tidak seperti band lain yang tiba-tiba genrenya berubah total, macam
Paramore.
Lagu-lagu baru dari From Zero bakal mereka bawakan selama tur yang akan mereka gelar tahun 2025. Tidak seperti Taylor Swift yang fansnya banyak di Indonesia tapi ogah konser di mari dengan alasan apa tuh kemarin, LP bakal konser di Jakarta 16 Februari 2025 setelah konser 2 hari di Tokyo. Pengen nonton sih, tapi takut juga kena tendang ama sikut penonton yang moshing.