Album From Zero (2024); Review Tipis-Tipis Aja



Saya memulai tulisan ini tanggal 16 November 2024, jam 19.36. Malam minggu nggak tahu mau ngehabisin uang ke mana, sebenernya lebih ke nggak ada budget yang bisa dihambur-hamburin sih ya. Jadi tadi sewaktu mandi, kepikiran pengen nge-review album barunya Linkin Park. Tulisan ini nggak akan ada kalau tadi pagi nggak dibikin kecewa sama konser Linkin Park—boleh ya disingkat LP—yang livestreaming di Brazil ternyata literally limited yang mana kalau nggak salah hanya 6 lagu, dan memang sengaja hanya Two Faced—yang mana MV baru liris dua hari lalu, dan The Emptiness Machine, termasuk yang bisa ditonton. Jadi diputus tiba-tiba ketika lagi sayang-sayangnya. Padahal, saya yakin bukan hanya saya seorang, yang pengen banget ngedengerin 10 lagu baru dibawakan di panggung untuk pertama kalinya. 

Dan, tiap orang ketika albumnya rilis kemarin—saya yakin seyakin-yakinnya—punya setidaknya satu lagu lain, selain yang udah mereka bawakan di panggung sebelum-sebelumnya, yaitu The Emptiness MachineHeavy is the CrownOver Each Other, dan Casualty. Artinya ada 6 yang kami pengen dengar versi panggungnya. Oke, tadi pagi udah nampilin Two Faced. Yang mana saya yakin seyakin-yakinnya, sengaja ditaruh di agak awal karena orang excited setelah melihat videonya, di mana aku sangat mengakui bahwa Emily sangatlah nggak nalar handsome-nya. Tuhan, tolong jaga iman saya jangan sampai jebol gara-gara perempuan ini. 

Sisanya ada 5 lagu baru yang—maaf ya kalau terlalu banyak pakai kata “yang”, padahal saya editor buku yang sangat benci ketika dalam suatu naskah kata ini muncul melulu padahal bisa dihilangkan—saya pikir akan dimainkan lho. 

Ternyata nggak. 

Tetep aja banyakan lagu-lagu lama di konser yang durasinya 2 jam 30 menit. Oh ya, saya akhirnya dapat tuh streaming full-nya. Ada pokoknya yang upload di Youtube dan langsung saya download dengan kuota dari wifi kos-kosan saya, disiarkan di TV Brazil gitu deh. Saya kecewa sih, karena yang saya mau ya nonton lagu baru. Saya terhibur sih ketika Two Faced dibawakan dan keren walaupun saya berharap, mereka secara random ganti kostum terus pada pake setelan jas gitu. Bangun, Malih, itu hal yang mustahil.   

Padahal di tulisan sebelumnya, kan saya sudah bilang, saya bukan fans LP. Saya lebih ke silent fans Taylor Swift, walaupun setelah album 1989, saya udah berhenti ngikutin update album-album selanjutnya. Keseringan bikin album, mellow pula. Satu album banyak pula lagunya

Nggak kayak From Zero yang ternyata cuma 10 lagu. Itu setengah jam doang durasinya. Saya pikir mereka setidaknya akan merilis lebih banyak dari itu. Entah apa alasannya. Saya yakin seyakin-yakinnya, bukan soal Mike nggak punya materi baru buat digarap dan dimasukkan ke album baru. Bukan juga soal dia ngejar waktu karena pengen dapet nominasi Grammy karena batas pendaftarannya 30 Agustus 2024. Ikutnya nanti nominasi tahun depan. FYI, mereka sudah pernah dapat dua Grammy. Semoga dengan vokalis terkini bisa panen Grammy dan penghargaan dari ajang-ajang musik lainnya.

Oke, setelah cukup ngalor-ngidul, saya kembalikan ke tema awal, yaitu review album From Zero. Dari Nol. Nggak usah dihubung-hubungkan sama SPBU, katrok! Biar saya aja yang berpikir ke sana. 

Saya akan ulas semua lagu. Kalau berharap ulasan ini akan berbobot, antum salah besar. Genre musik yang saya sukai sangat sedikit. Ketajaman telinga saya soal instrumen musik nggak peka-peka banget. Soal pengetahuan olah vokal—mohon maaf—buruk. Jadi ini hanya curahan perasaan saja. Modal rasa. Saya kalau soal rasa, yuk sini boleh diadu. Kalau di Youtube, sudah banyak yang bikin reaction. Ada yang suka, ada yang nggak. Suka karena kenapa, ada alasannya. Nggak suka karena kenapa, juga ada alasannya. Kalau sekadar nggak suka karena lagi-lagi soal Chester yang nggak bisa digantikan, ya terserah lo deh. Drama banget lo, yeee!

From Zero terdiri dari intro dan 10 lagu. Saya ulas—eh enaknya pake istilah ulas, review, atau apa ya?—dari The Emptiness Machine. Ini adalah lagu baru dengan vokalis Emily. Saya baru nonton full MV-nya … baru aja, sebelum saya bahas lagu ini. Kalau dari 1 sampai 10 antara skala biasa ke suka banget. Hmm mungkin 3 ya. Ya, memang biasa aja. Just a rock song buat saya. Videonya ada sih ceritanya, tapi kebanyakan efek, say. Puyeng lihatnya. Jadi mereka konsepnya punya kerjaan masing-masing terus nge-band bareng. Nggak ada konfliknya. Tapi, saya mulai suka lagu ini ketika dinyanyiin di acaranya Jimmy Fallon. Panggungnya kecil aja, alat musik seperlunya, dan mereka tampil perfect. Dan suaranya Emily sangat berkarakter. Tingkahnya nggak pecicilan padahal dia di Dead Sara kelakuannya kayak anak remaja. Cuma memang semakin ke sini, udah mulai keluar juga pecicilannya, tapi masih terkendali. Masih kelihatan rock star, lah.

Selanjutnya Cut the Bridge, durasinya 3.49 menit. Seperti halnya The Emptiness Machine, lagu ini dimulai dari Mike. Emily baru masuk ketika bridge—dan chorus. Saya mungkin salah ya, tapi ini lagu yang mungkin tidak akan sulit dibawakan Emily saat live. Lagu ini temponya cepat dan nadanya semakin ke belakang semakin naik. Kalau di panggung si pirang ini nggak sambil jalan ke sana-kemari, dia tidak akan kesulitan menuntaskan lagu ini. Cuma, Emily memang tipe nggak bisa diam. Dan, panggungnya LP rata-rata besar, walaupun keinginan tampil di panggung 360 derajat tidak di semua venue bisa terpenuhi ya. Entah yang di Jakarta nanti. GBK kan gede tuh. Bisa kali. Hm, nilai buat lagu ini 5 deh. Fifty-fifty lah. Suka tapi belum favorit. 

Lagu ketiga, Heavy is the Crown. Lagu ini ditampilkan pertama kali di konser Hamburg, 22 September 2024. Terpilih sebagai official song game online League of Legends. Mulai di lagu ini, kita akan diperkenalkan dengan satu skill lain Emily yaitu screaming. Ini semacam skill set yang sepertinya selalu Mike cari dari penyanyi yang dia target buat jadi vokalis LP terkini. Emily dilatih kemampuan itu. Soal nyanyi sih dia sudah punya karakter, walaupun warna vokal dia sangat berubah dibandingkan ketika masih dengan Dead Sara. Upgraded. Totally. Saya suka lagu-lagunya Dead Sara. Bagus-bagus lho. Nggak kaleng-kaleng. Banyak yang bilang Amy Lee dari Evanescence lebih bagus dari Emily. Oke suaranya memang bagus, tapi Mike nggak milih dia. Artinya, ada hal lain—selain Mike dan Emily udah kenal cukup lama—yang Mike temukan hanya di Emily. 

Sudahlah, terima aja kenapa sih? Bukalah hatimu, hoy. Keras banget sih jadi orang. 

Oke nilai untuk lagu ini—7 boleh kali ya. Screaming Emily di lagu ini katanya bisa sampe 17 detik ya, kadang bisa lebih singkat kalau dia nggak ngambil cukup ancang-ancang atau pas dia lagi capek-capeknya di mana napas ama suara nggak sejalan    

Lagu keempat, Over Each Other.  I love the video of this song. Itu pertama. Buat saya, video itu memegang pengaruh penting dalam pergolakan hati, weitss. Saya kan anak MTV, milenial, lagu itu bisa disukai atau tidak tergantung MV. Kedua, I love the song. Ini saya sebut Emily’s song. Sependengaran saya, tidak ada suaranya Mike di lagu ini. Mohon maaf kalau ternyata ada. Saya bahas dulu tentang videonya, boleh? Boleh. Video ini ada ceritanya dan sekaligus membuat saya terperangah kalau Emily itu … pecinta sesama? Lesbian? Pansexual? Karena saya langsung mencari siapa manusia-manusia yang pernah dipacari orang ini. Cuma ketemu satu, model kalau nggak salah, udah putus juga sih. Alasan putusnya apa, ya mana saya tahu. Tidak ada rekam jejak laki-laki. Susah menemukan rekam jejak masa lalu orang ini, entah karena dia emang nggak suka posting soal pribadinya di sosmed, apa memang ini orang yang picky sekali. Videonya itu diawali dari sebuah scene kecelakaan lalu lintas. Ada mobil kebalik, ada Emily sama ada cewek di dalam mobil. Emily sadar, cewek di sampingnya pingsan atau mati mungkin. 

Emily keluar dari mobil terus menyeberangi mobil dan berusaha buka pintu tapi nggak bisa. Lalu mundur beberapa waktu sebelumnya. Mereka masih baik-baik aja, ke toilet terus bercinta dengan panas dalam bilik toilet. 

Nggak ya, nggak perlu segitunya hey. Otak mesum banget! 

Emily digandeng sama cewek ini, orang Korea. LP pas mau konser di Seoul sekalian bikin video juga gitu. Mereka cuci tangan lalu ada telepon ke ponselnya Emily. Mereka tuh sama-sama lihat layar dan langsung awkward aja dan adu mulut. Literally adu mulut ya, sekadar menebalkan kalau tidak ada adegan dewasa di video ini. Saya kemudian paham, oh mereka ini pacaran tho ceritanya. Tadi memang gandengan sih, tapi cewek kan bebas gandengan sama temen cewek. Nggak jelas siapa yang telepon. Saya curiga itu telepon dari Kim Jong Un, deh. Ceweknya langsung ngeh kalau Emily ternyata adalah mata-mata dari Korut. Makanya mereka berantem abis-abisan. Kurang lebih adegannya gini:

Si Cewek: “Ternyata lo ya, mata-mata ya. Hah! Ngaku lo!”

Si Emily: “Ih ada gila-gilanya ni orang.”

Si Cewek: “Halah! Maling mana ada yang ngaku!”

Si Emily: “Gue mata-mata, bukan maling!”

Si Cewek: “Tuh kan bener!”

Si Emily: “I’m distracted!”

Si Cewek: “Cih! Pake bahasa Inggris lo! Gwencana!”

Si Emily: “Goblok apa ni orang ya? Kan gue dari Amerika.”

Karena adu mulut itu, lalu sebuah kecelakaan pun terjadi. Saya nggak usah bahas soal logika cerita karena saya sendiri punya banyak pertanyaan dengan melihat adegan demi adegan. Ini durasi lagunya cuma 3 menit kurang 3 detik, antum mau berharap apa? Storyline-nya tidak memungkinkan menjelaskan banyak hal. Endingnya pokoknya keadaannya kebalik aja. Bukan cuma mobilnya, tapi yang mati ternyata Emily bukan ceweknya. Lagu ini ketika di panggung, dibawakan Emily dengan gitar elektrik. Another skill set unlocked. Walaupun dia nggak memainkan gitar sepanjang lagu. Hanya di part tertentu. Tapi, beberapa kali saya perhatikan, ketika dia pake gitar, selalu ada kendala di alat yang dipasang di pinggang itu lho, apa deh namanya. Jadi ribet sendiri. Oke, untuk lagu ini saya kasih 8,5. Saya suka tapi ada yang lebih saya suka lagi, saya hemat-hemat nih angkanya.

Lanjut ke judulnya Casualty. Buat yang suka sama lagu screaming-screaming, silakan enjoy this one. Dari awal, saya nggak suka sama lagu tipe kayak ini. Nggak sejalan sama hati lembut saya. Singkat saja, saya kasih 1 deh. Masak kasih minus.

Kita beranjak ke Overflow. Mulai agak calming down, temponya juga melambat. Kalau di lagu sebelumnya, Emily mengeluarkan effort sangat besar untuk screaming dengan beringas, di sini dia memperdengarkan karakter suara yang falsetto dan jernih. Karena lagu ini belum pernah ditampilkan di panggung, saya membayangkan dia menyanyi sambil diam aja di tempat untuk mendapatkan suara falsetto yang stabil. Mungkin juga pada sadar ya, suara dia itu karena mungkin kebanyakan gerak, jadi berubah yang harusnya output-nya serak tiba-tiba jadi jernih aja. Kan kita jadi khawatir, haters-nya dia dapat bahan nih buat nge-bully. Saya kasih nilai 8,5. Saya suka lagu ini.

Move to next song, Two Faced. Ini juga lagu yang menurut saya videonya sangat berpengaruh untuk membuat orang suka. Konsepnya adalah suka-suka gue aja. Mereka semua memakai setelah formal lalu main musik. Perkara nanti dasi ke mana-mana, jas entah ke mana. Namanya juga suka-suka gue. Meskipun videonya nyeleneh, tapi kayaknya bukan cuma saya doang deh yang langsung suka. Ini Linkin Park woy, band metal senior, tiba-tiba videonya kayak anak dua puluhan. Dan wajar, banyak fans Linkin Park mikir, ih najis banget nih video, sok asyik. 

Ih tegang banget sih lo, kayak senar raket tenis. Lemesin, say, lemesin. Band rock kelakuannya juga boleh gokil kan. Rocker juga manusia. Sesimpel itu. Dan orang juga melihat betapa Emily itu bisa kelihatan serius, tapi bisa santai juga. Ingatlah bahwa Linkin Park tidak mengubah DNA Emily si vokalis Dead Sara yang pecicilan. Nilai untuk lagu ini, 9 deh. Ketambahan poin dari video yang asyik.

Boleh kita lanjut? Stained judulnya. Ini kalau di bahasa Indonesia ya, cocok bener jadi judul lagu dangdut. Ternoda. Lirik Stained setelah saya baca-baca, ternyata dalam ya. Pengen saya jelaskan tapi takut salah. Mungkin ada metafora yang saya nggak paham. Baca sendiri dah. Tapi saya suka lagu ini. Di telinga saya terdengar kayak lagu pop. Kalau orang yang nggak paham dan disuruh dengerin, mungkin akan mengira ini lagu pop aja, bukan lagu yang dimainkan oleh sebuah band rock. Mungkin ketika ditampilkan di panggung akan diformat berbeda ya. Nilai saya 8,5.

Lanjut lagi ke lagu IGYEIH, I Give You Everything I Had. Balik ke mode kencang dan berenergi. Panas lagi nih dibikin Mike sama Emily. Distorsinya—ciee mulai berani pake istilah teknis—meningkat teratur dari awal sampai terakhir. Lalu antiklimaksnya dianterin sama Emily. Dia yang memulai, dia pula yang mengakhiri. Di awal lagu, Emily udah mulai nada tinggi, tapi volumenya dikecilin, baru kemudian digedein. Nggak kayak Two Faced, maen kagetin aja. Nilai untuk lagu ini, 7 lah ya. 

Nah, nah, nah, ini lagu terakhir. Judulnya Good Things Go. Langsung nilai dulu yaa. 10. Suka banget saya. My favorito. A lovely song. A beautiful song. Lagu cakep. Ini sebenarnya lagu sedih tapi manis kok. Silakan cari sendiri liriknya. Tulisan ini sudah 4 halaman Word, kepanjangan nanti kalau liriknya saya masukin juga. Siapa yang mau baca tulisan panjang-panjang ha? Nonton video TikTok aja di-skip. Ada satu baris lirik yang saya kutip: 

Sometimes bad things take place 

where good things go. 

Ayolah, masak sih nggak paham? Format lagu ini kayak echo. Sebaris lirik yang dinyanyikan Mike, diulangin sama Emily.  Tapi di kunci yang berbeda. Suara 1 dan suara 2. Lalu, sebaris mereka nyanyi bareng. Di verse 1 dan 2 kayak gitu. Emily ngisi bagian chorus. Lalu ada Mike rap di bagian bridge. Nah, baru, bagian chorus terakhir klimaksnya gila. Gila. Nadanya naik dan naik terus, dan suaranya Emily masih nyampe lho itu, di baris terakhir baru dibawa ke antiklimaks. Aku suka sama lagu Waiting for the End, tapi lagu ini lebih “berdarah-darah”, say. Saya walaupun buta nada, ini kalau orang tekniknya nggak terlatih banget, nggak akan sampe suaranya. Pasti dilariin ke falsetto. Makanya saya berharap lagu ini dibawain di Brazil, tapi nggak. Ujung-ujungnya dijadiin tulisan aja deh, daripada saya mengamuk. Lumayanlah jadi sesuatu yang positif. 

Btw, udah jam 23.23 ya. 

Oke, selesai sudah. Semua sudah saya tuliskan di sini. Lagi-lagi, ini menurut rasa saya sih. Saya suka album ini, saya suka inovasi-inovasinya. Saya suka hal-hal baru yang ternyata saya masih bisa ngikutin walaupun saya sudah tidak muda lagi. Saya happy, kalau Mike happy. Kalau rame, lanjut album berikutnya. 

Nite!

Post a Comment

Previous Post Next Post