City of Trees (2019); Kisah si Editor Foto yang Sedang Mudik

Sudah bulan Desember lagi. Natal sebentar lagi. Film Natal mulai memasuki layar-layar bioskop. Dan inilah 7 film Natal yang wajib kamu tonton sebelum kamu dibilang katrok.

Bukan. Saya tidak akan main kayak begituan, secara referensi film tema Natal yang nyangkut di otak saya sangatlah sedikit. Miskin. Jelata. Kasta terendah. Saya tidak begitu excited dengan film Natal sebagaimana saya tidak excited-nya sama film-film bertema Lebaran. Eh tapi film horor tema Lebaran kayaknya belum ada ya. Semisal judulnya Misteri Hantu … ah elah jadi mikir kan. Susah lagi.

Lupakan.

Saya balikin ke film tema Natal. Semalam, saya tiba-tiba aja pengin nyari film apa sih yang bisa saya bahas yang ada Natal-nya pokoknya. Sekarang kan nyari film bajakan makin susah ya. Situsnya pada diblokir sama Kominfo—Komdigi ya sekarang namanya. Jangankan situs film, situs penyedia subtitle juga ikut diblokir. Memang kamp … ah sudahlah. Mereka lagi dirongrong sama kasus judol.

Film Natal yang made in Hollywood udah banyak yang bahas. Jadi saya nyari yang indie aja di Youtube. Saya pilih mana yang ketemu aja sih sebenarnya.

Dan ketemulah City of Trees. Film ini rilis tahun 2019. Rating IMDB 6,1. Angka yang hm membuat orang menyimpulkan sepertinya ini tidak bagus-bagus amat deh, skip aja. Saya baru lihat rating itu setelah menonton filmnya. Buat yang kurang into sama romcom indie genre LGBT, pasti akan skip. Kalau mencari film Natal dengan berbagai keceriaan dari awal sampai akhir, film ini tidak memenuhi hal tersebut. Asal kamu tahu ya, Natal di negara yang mana itu sedang winter, akan terasa lebih ke arah depresif. Gloomy. Dikenal dengan Seasonal Affective Disorder atau SAD. Karena sinar matahari kurang, kemungkinan orang-orang mengalami depresi itu sekian persen. Beda ketika summer. City of Trees mengambil sisi depresif … sebut gloomy deh biar tidak terlalu gimana gitu.

Film ini menghidangkan kisah seorang editor foto yang bekerja di kota besar yang mudik ke rumah orang tuanya di sebuah kota kecil untuk merayakan Natal bersama keluarga. Ainsley Sadler mudik setelah 7 tahun, usianya sekarang 28 tahun. Orang tuanya masih lengkap dan dia punya saudara perempuan satu orang. Sedari awal, Ainsley tidak memperlihatkan raut kebahagiaan. Dia seperti punya beban dan berusaha menyembunyikan itu. Sementara orang tuanya begitu semringah menyambut kedatangan anak mereka. Ibunya selama ini membangga-banggakan anaknya yang satu ini sukses di kota besar, punya pekerjaan bagus, fotonya masuk majalah. Semua orang di kota itu pun menganggap si Ainsley sehebat itu.

Padahal, dia editor foto. Artinya, bukan dia si pembuat fotonya. Editor—dalam ranah mana pun—entah itu majalah, buku, film hm apa lagi yang perlu editor—job desk-nya bukan membuat tapi mengedit, mengkurasi, dan sebagainya hingga layak untuk ditampilkan. Emang sebuah karya seni harus lewat editor?

IYA HARUS!

Kenapa?

ESTETIKA.

Misalnya untuk bidang yang saya geluti, buku. Awalnya kan hanya berbentuk naskah mentah dari penulis. Naskah itu dibaca oleh penerbit—which is adalah editor. Naskah itu akan dievaluasi, diperiksa kelayakannya, lalu yang layak terbit akan dipisahkan dari naskah sampah.

Kok kasar banget sih nyebut sampah?

Karena memang sampah. Sampah itu ada lagi kriterianya. Sampah karena dari penyajiannya buruk sekali, sampai kontennya yang amburadul. Cara menulisnya sangat buruk. Struktur ceritanya berantakan. Satu hal, buku, foto, lukisan dan sebagainya itu disebut karya seni. Ada nilai artistik di dalamnya. Saya mengecualikan dari buku populer yang kejar penjualan yang punya faktor lain dari dua nilai idealisme tadi.

Dan saya tidak pernah bilang bahwa semua penulis kawakan cara penulisannya 100% matang. Editor buku adalah yang menutupi kekurangan itu. Sudah paham sekarang betapa pentingnya sebuah penerbitan punya editor yang paham estetika? Apakah editor yang menulis buku pasti hasilnya lebih sempurna? Tidak serta-merta juga. Tergantung seberapa tajam dia selalu mengasah kemampuan. Bisa jadi ketika dia menulis, dia tidak bisa melepaskan dirinya dari idealisme sehingga bagi orang-orang tertentu, bisa terbaca hal itu. Perfeksionis bagi saya adalah red flag. Dan saya termasuk golongan orang-orang yang red flag. Saya kesal ketika dalam karya saya ada kesalahan padahal itu minor. Itu sebabnya setelah Pustamera terbit, saya merasa apa yang akan saya hasilkan berikutnya adalah karya buruk yang dipaksakan bisa terbit. Will not make me happy.

Oke, kayak gitu ya gambarannya kurang lebih. Saya bisa merasakan apa yang Ainsley rasakan. Dia melihat betapa ibunya sangat membanggakan dia di depan orang-orang. Dan teman-teman sebayanya juga berpikir demikian. Ini terungkap dari karakter Sophie di salah satu scene yang mengatakan bahwa di mata dia dan teman-teman sekolahnya, Ainsley menjauh dari pergaulan karena dia sudah menemukan jalan hidupnya sendiri. Sudah tahu apa yang akan dilakukannya, sementara mereka hanya remaja yang bisanya senang-senang doang makanya ngondon di kota itu doang, tidak berani ke mana-mana.

Padahal, itu tidak sepenuhnya benar.

Ainsley orang yang sangat sensitif. Dia takut mengecewakan orang tuanya karena kegagalan yang dilakukannya. Sementara, dari POV orang tuanya yang sudah makan asam garam kehidupan lebih banyak, kegagalan dalam hidup itu biasa saja. Gagal dalam pekerjaan itu bukan hal besar yang membuat orang tua tidak bangga kepada anaknya. Ini bagian yang paling saya suka. Menyamakan cara pandang antara anak dengan orang tua hingga berada pada titik yang sama. Di momen mudik itu, Ainsley menemukan momen yang tepat untuk membangun kembali dirinya yang hancur. Bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga perkara percintaan.

Saya membahas perkara asmara belakangan aja karena soal komunikasi yang baik antara orang tua dan anak itu sangat vital. Tidak semua keluarga punya landasan komunikasi yang kuat. Bagi Ainsley, keluarganya itu—di luar dugaannya selama ini—adalah support system yang dia butuhkan. Dia tidak butuh ke psikolog karena kedua orang tuanya sangat mengayomi dia. Ibunya sangat hangat, ayahnya pengertian, saudaranya penuh dukungan. Masalahnya itu datang dari dalam diri dia sendiri. Apa yang dia butuhkan adalah berdamai dengan dirinya sendiri.  

Di kota, Ainsley punya pacar perempuan. Tidak diperlihatkan orangnya, tapi dari percakapan Ainsley dan Sophie, Ainsley patah hati karena pacarnya selingkuh. Saya tidak tahu apakah orang tua Ainsley tahu soal ini.

Sedikit latar belakang tentang Sophie. Dia teman sekolahnya Ainsley. Dia dekat dengan ibunya Ainsley karena tiap malam dia selalu bantu menyelimuti tanaman-tanaman milik ibunya Ainsley. Sudah empat tahun dan itu tidak dibayar karena Sophie emang baik aja orangnya. Dia pecinta tanaman. Ainsley awalnya menghindari Sophie karena dia secara general menghindari semua orang. Dia hanya hang out sama satu teman SMA-nya bernama Teddy. Ada acara reuni pun, Ainsley tidak tertarik untuk datang karena memang tidak diundang juga. Dan di antara percakapan random mereka yang memaki teman-teman sekolah, ketika Ainsley bilang, “Fuck you, Sophie Michaels.” Lalu Teddy tiba-tiba menyahut, “Nggak, dia masih cakep banget dan baik juga.” Itu kemudian terjawab keesokan harinya, Ketika belanja di supermarket eh lahdalah Ainsley yang lagi nemenin ibunya belanja, ketemu sama si Sophie. Ainsley langsung salting dong. Emang masih cakep sih dan ramah. Itu tuh kombinasi yang membuat orang-orang seperti tenggelam ke dasar bumi. Kenapa semua diambil sama lo! Cakep ya cakep aja.

Dan Ainsley yang sedang patah hati bertemu Sophie yang baik dan asyik diajak ngobrol, jadi semacam penyembuh luka hati. Mereka sering ngebir di belakang rumah. Banyak ngobrol. Secara de facto, di antara mereka sudah tidak ada penghalang, kecuali Ainsley yang menarik diri sampai akhirnya mereka sampai di titik, Sophie merasa hubungan mereka bisa kali selangkah lebih maju. Suatu malam yang dingin, Sophie minta dicium sama Ainsley. Jelas diturutin dan dilanjutin di ranjang. 

Kemudian, Ainsley yang lagi menggalau karena pekerjaan, tidak bisa menyembunyikan keresahannya. Dia galau sendiri dan belum berani ngomong kalau dia ada masalah. Sophie pun jadi menjauh karena sikap anehnya Ainsley. Oh satu hal. Mungkin ada juga yang merasakan gini, bahwa reconnecting dengan seseorang teman dari masa lampau—konteksnya dulu memang teman, bahkan bukan teman dekat, beneran teman aja—itu susahnya bukan main. Itu saya alami. Tapi dia selalu berada dalam jangkauan. Dia tipe orang yang tidak pernah tidak punya sosmed. Dengan bermodal saya tahu nama lengkap dia, gampang nyantetnya eh nyarinya. Saya cari di Friendster ketemu. Saya cari di Facebook ketemu. Masa Facebook berlalu, dia di Instagram ada. Tapi, giliran ini orang diajakin ngobrol, susah bener biar dia tidak salah tangkap maksud. Terlebih lagi, dia tipe susah diajak bercanda. Orang ini semacam misteri dunia yang ada sesuatu tentang dia yang saya sepertinya harus tahu, karena dia tidak pernah menghilang dari kehidupan saya. Padahal sama mantan pacar saya aja saya bodo amat. Tetapi masalahnya, pintu untuk bisa membuka misteri si orang ini belum ketemu. Kami punya hobi yang sama. Kami lahir di bulan yang sama. Itu bukan clue yang bisa membantu. Punya teman yang kasusnya seperti ini juga?   

Balik lagi ke cerita. Setelah Ainsley memberanikan diri terbuka ke ayahnya, segala beban hati serasa menguap begitu aja. Dia selama ini overthinking aja. Padahal, dunia masih baik-baik aja kok. Dunia masih terus berputar.

Kepulangan Ainsley ke rumah kali ini memang sudah seharusnya terjadi. Poinnya di situ. Memperbaiki cara pandang akan kehidupan. Bagaimana menyikapi kegagalan. Dan bagaimana memulai sebuah hubungan baru dengan seseorang yang selama ini dianggap buruk hanya berdasar persepsi yang tidak jelas juntrungannya. Mungkin sifat Ainsley ada dalam diri kita juga dan membenahi diri adalah satu-satunya kunci. Belum terlambat untuk memulai lagi dari awal sebagaimana Ainsley berubah menjadi pribadi ceria dan menyenangkan selama liburannya kali ini.


Post a Comment

Previous Post Next Post