Itu berarti aktingnya bagus, Malih, he-uh!
Kalau di City of Trees, suasananya dibikin gloomy sama si tokoh Ainsley Sadler, sementara di Looking for Her jauh lebih light, ringan, lucu, bikin baper, sama si tokoh Olive dan Taylor. Murni romcom yang menghibur. Si Olive berjuang buat dapet peran di film lewat berbagai audisi dan punya sampingan jadi pelayan di kafe plus pengasuh anjing. Si Taylor yang workaholic, baru putus dari pacar, dan berniat pulang ke rumah orang tuanya untuk mudik dan setelah 3 tahun tidak pulang karena konflik dengan orang tuanya yang tidak bisa menerima dirinya yang berpacaran dengan perempuan lalu orang tuanya meminta supaya Taylor mengajak pacarnya, Jess, yang mana Taylor dan Jess sudah putus. Puyeng dong gimana menghadapi situasi itu.
Mereka dipertemukan oleh kepentingan masing-masing. Olive butuh uang untuk menyambung hidup. Taylor butuh pacar untuk menutupi rasa malu di hadapan orang tuanya karena hubungan yang dia perjuangkan telah kandas dihempas ombak prahara kehidupan. Dan jatuh cinta dalam hitungan hari adalah mustahil. Dia harus datang membawa pacar yang bernama Jess. Pertama dia mencari dari aplikasi kencan. Dia bikin janji ketemuan dengan beberapa orang di suatu tempat untuk “ala-ala audisi". Dan yang namanya asal milih, datanglah orang-orang random. Sampai yang terakhir ada cowok yang datang. Lah ini pakai profil palsu apa gimana? Ini part kocak.
Setelah percobaan pertama gagal, bawahannya si Marge yang gemes pun tanpa bilang-bilang dulu udah keburu pasang iklan cari jodoh di koran. Tawaran jadi pacar pura-pura dengan bayaran 1.000 dolar untuk seminggu. Kalau dihitung-hitung, ini lebih murah dari nyewa perek semalam. Perek kelas atas maksud saya, bukan yang di pinggir rel. Taylor skeptis, lah. Hari gini siapa sih yang masih baca koran? Mereka aja kerjanya di media online. Tapi sebagai kalangan tua, Marge berpendapat kalau koran masih punya kekuatan. Dan Taylor pasrah aja.
Seringnya sang ayah yang menelepon dan memastikan anak satu-satunya pulang, membuat Taylor gelisah dan buntu banget. Hampir saja dia bilang yang sesungguhnya, tapi kemudian ada yang menghubunginya perihal iklan di koran.
Orang itu adalah Olive. Dia berasal dari keluarga dengan orang tua yang sudah berpisah. Tinggal bersama seorang temannya menyewa apartemen yang mereka berdua patungan. Olive ikut casting sana-sini demi mendapat peran. Satu dari sekian banyak manusia yang punya mimpi jadi aktor. Karena kecapekan menghafal naskah casting sampe begadang dan mengurus anjing-anjing orang, dia sering datang terlambat ke kafe tempatnya bekerja. Bosnya lama-lama kesal juga dan akhirnya memecat Olive. Tapi karena momen itulah, Olive membaca iklan soal lowongan jadi pacar bayaran. Tapi yang belakangan dia baru tahu, yang bikin lowongan itu juga cewek, bernama Taylor. Karena koran itu sempat kena hujan jadi ada baris tulisan yang tidak terbaca.
Oh ya, saya jadi teringat soal Taylor Swift. Jadi ini pernah dibahas sama Dave Hendrik pas di DVET Siaran Pagi bareng Iwet Ramadhan di TikTok. Kata Dave, orang tuanya Taylor Swift sengaja memilih nama Taylor karena di negara mereka, kalau HRD membaca amplop lamaran kerja, yang pertama dilihat adalah namanya dulu. Kalau laki-laki akan diutamakan. Tapi toh meskipun begitu, Taylor Swift tidak pernah merasakan jadi karyawan.
Walaupun kaget, mengingat ada uangnya dan butuh, Olive mah gaskeun aja. Toh ini profesional. Dia tidak mikir belakangnya gimana. Toh si Taylor tidak terlihat seperti orang jahat.
Nah di sinilah kegemesan demi kegemesan antara dua orang ini terjadi. Mereka pun janjian untuk trip ke rumah orang tuanya Taylor. Dalam perjalanan, mereka ngobrol seadanya. Suasana sempat awkward ketika Olive bertanya tentang bagaimana hubungan Taylor dan Jess dahulu supaya dia bisa mendalami peran, sementara Taylor udah dalam tahap malas mengingat masa lalu.
Ketidaktahuan Olive tentang hubungan Taylor dan Jess membuat Olive sering bingung sendiri ketika dia ditanya-tanya sama orang tua Taylor. Lah emang informasinya kurang, mau gimana?
Oh ya, dan satu momen yang menunjukkan mengapa sampai terjadi konflik antara Taylor dan orang tuanya adalah perbedaan cara pandang. Orang tuanya Taylor sangat tradisional. Salah satunya adalah dengan memasang mistletoe di depan pintu. Sebagai semacam sinyal bahwa mereka merestui hubungan Taylor dan Jess, mereka menyuruh keduanya berciuman di bawah mistletoe. Taylor kaget dong. Olive yang merasa aktingnya sudah dimulai, tanpa ragu pun mencium Taylor dengan mudahnya. Cuma habis itu, karena kesal, ketika orang tuanya tidak melihat, Taylor langsung membuang mistletoe itu ke luar rumah.
Aktingnya si Olive memang bagus, kecuali ketika harus menjelaskan soal pekerjaannya Jess—yang mana Jess adalah seorang software developer—atau kapan Jess dan Taylor pertama ketemu. Sangat di luar dugaan Taylor bahwa orang tuanya akan bertanya detail tentang itu. Kenapa mereka tiba-tiba ingin tahu padahal dulu mereka memutuskan komunikasi karena Jess.
Selama beberapa hari di rumah Taylor, Olive menjadi dirinya sendiri. Dia dengan cepat akrab dengan kedua orang tua Taylor. Sementara Taylor ketar-ketir kalau kebohongannya terungkap sewaktu-waktu. Bahaya itu. Bisa runyam. Taylor pun tidak seperti Olive yang bisa akting mesra dengan mudahnya. Dia malah tetap menyibukkan diri dengan pekerjaan, padahal hitungannya lagi liburan tuh. Ketika mereka di kamar pun, Taylor membatasi obrolan dengan Olive. Dia tegang. Pokoknya membohongi orang tua rasanya itu tidak mengenakkan hati.
Tapi sepandai-pandainya pasangan pura-pura ini, toh insting ibu tidak bisa dikelabui. Macam Sherlock Holmes. Dari beberapa petunjuk akhirnya bisa memecahkan suatu kasus. Ini yang Taylor dan siapa pun yang sedang dalam program membohongi orang tua, tolong itu jejak digital dipastikan bersih. Ingat, banyak orang jadi kena masalah gara-gara jejak digital. Ingat, dalam grup WhatsApp keluarga sering kali aib-aib bisa terbongkar. Kalau punya akun Kaskus yang isinya memaki-maki orang, tolong dibersihkan kalau ingin masuk dunia politik jalur orang dalam.
Seperti juga City of Trees—yang saya perhatikan—intensitas drama Looking for Her juga tidak diwarnai dengan adu mulut maupun pertengkaran-pertengkaran bernada tinggi. Lebih ke bikin mewek penonton sih lagi-lagi ketika dialog antara anak dan orang tua. Apa sayanya aja yang terlalu sensitif ya. Dan setiap adegan after sex scene, tidak ada yang namanya mereka lalu bermesraan sepanjang hari. Bangun tidur aja masih berpakaian. Adegan ciuman aja juga tidak berlebihan sampai gimana-gimana juga. Saya belum menonton karya-karya Alexandra Swarens lainnya.
Film ini rating IMDB-nya 6,6, tapi okelah. Kalau mau nonton, pastikan VPN-nya menyala. Ini ada di YouTube channel We Are Pride.